Banyak Diskriminasi dan Upah Murah, Jepang Hapus Program Magang

Jakarta,KPonline – Jepang akan menghapus program magang bagi pekerja negara berkembang, termasuk dari Indonesia.

Panel Pemerintah Jepang mengusulkan penghapusan program magang pada 10 April lalu karena dinilai kontroversial akibat banyaknya pelecehan dan diskriminasi.

Setidaknya terdapat lima poin penting dalam hasil panel tersebut. Pertama, penghapusan program magang dan digantikan dengan program pengadaan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Kedua, penyesuaian bidang dan jenis kerja baru dengan bidang dan kerja SSW guna memberikan kemudahan peserta untuk alih status ke program tersebut. Ketiga, pemberian kelonggaran bagi peserta untuk berpindah perusahaan dalam jenis kerja yang sama.

Keempat, peran organisasi pengawas dalam program pemagangan akan terus diadopsi dengan memberikan syarat sertifikasi yang lebih ketat.

Kelima, mencabut izin organisasi pengawas yang tidak menjalankan tugasnya dengan benar serta pemenuhan mekanisme pengawasan kemampuan dan keahlian peserta.

Draf rekomendasi panel pakar badan imigrasi mengusulkan penggantian sistem ke yang lebih dibutuhkan Jepang terkait tenaga kerja dan keinginan melatih orang dari negara kurang berkembang, kata pejabat itu kepada AFP.

Dalam dokumen yang dirilis pada Senin (10/4/2023) setelah diskusi berbulan-bulan, panel tersebut menyoroti perbedaan antara tujuan program dan kenyataan yang dihadapi pekerja magang muda. Pada 2022, program magang di Jepang diikuti sekitar 320.000 pekerja dari berbagai negara termasuk Vietnam, Filipina, Indonesia, dan China.

Program ini menjadi sumber tenaga kerja berharga bagi Jepang yang memiliki populasi tertua di dunia setelah Monako, dan undang-undang imigrasi ketat terutama untuk mencari pekerja asing sangat terampil. Panel selanjutnya akan mengajukan proposal pertamanya kepada para menteri dalam beberapa minggu mendatang sebelum mengeluarkan rekomendasi kebijakan resmi setelah musim panas.

Program magang di Jepang mulai dibuka 30 tahun lalu, tetapi kerap dikritik sebagai sarang pelecehan dan diskriminasi.

Kegiatan magang seharusnya mengajarkan keterampilan pada peserta pelatihan luar negeri di sektor-sektor seperti konstruksi, pertanian, dan pengolahan makanan. Akan tetapi, beberapa perusahaan Jepang dituduh memperlakukan peserta magang sebagai pekerja sementara yang murah

Sementara Deputi Direktur HRWG, Daniel Awigra, menyatakan praktik perekrutan yang tidak adil, penarikan biaya tinggi, dan eksploitasi pekerja, marak ditemukan. Ini terjadi khususnya dalam perekrutan dan penempatan swasta-ke-swasta.

“Praktik ini terjadi saat perekrutan, pelatihan, persiapan dan pemberangkatan yang dilakukan umumnya oleh aktor swasta yang memiliki izin dari pemerintah,” ujarnya dalam peluncuran buku “Shifting the Paradigm of Indonesia-Japan Labour Migration Cooperation” yang menangkap berbagai pelanggaran

Dia mencontohkan, banyak calon pemagang diminta mengeluarkan uang antara Rp30-80 juta untuk persyaratan abal-abal. Karena itu, sebelum mereka berangkat, pekerja sudah terlilit hutang.

“Sementara, dugaan praktik korup untuk mendapat kursi pemagang di Jepang dalam skema magang government-to-government juga menguat,” tambahnya.

Pendamping pekerja Indonesia di Jepang, Saeki Natsuko, mengatakan para pekerja TITP tidak mendapatkan posisi yang sesuai keahlian.

“Kenyataannya peserta program magang hanya dijadikan pekerja kasar untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di perusahaan kecil yang tidak sanggup merekrut atau membayar gaji orang Jepang,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.

Profesor di Nagoya Gakuin University ini mengatakan, kondisi yang sama juga dialami perawat dan perawat lansia di bawah Economic Partnership Program (EPA).

“Perawat ini belum punya sertifikasi di Jepang. Jadi yang dibilang (sebagai) calon atau kandidat. Jadi terpaksa kerja sebagai pembantu perawat. Terus terang, kerjanya bisa dikatakan kerja kotor,” tambahnya.

Salah satu alumni program TITP di sektor perikanan, Andi (bukan nama sebenarnya), mengatakan banyak ketidakjelasan informasi dalam program tersebut. Dia menceritakan, ketika ikut perekrutan dia tidak mengeluarkan biaya apapun, namun ketika bekerja gajinya dipotong tanpa pemberitahuan.

“Di laut itu gaji kok kecil banget? Setelah saya ke sini-sini, oh tahu ternyata memang agen di Jepang dan di Indonesia, dengan iming-iming biaya gratis itu ternyata gaji kita dipotong selama tiga tahun. Dan pemotongannya itu tidak wajar,” kisah laki-laki yang berangkat tahun 2005 dan kini telah kembali ke Indonesia ini.

Andi bahkan menyatakan terbiasa mengalami kekerasan dan bekerja hingga 20 jam sehari.

Hal serupa dinyatakan Tara (bukan nama sebenarnya), yang bergabung dalam angkatan pertama perawat EPA pada 2007. Dia mengatakan, ia tidak pernah diberitahu bahwa gajinya akan dipotong untuk membayar asuransi.

“Itu kan sebenarnya bukan penipuan. Tetapi tidak ada konfirmasi atau informasi dari awal bahwa itu akan dipotong. Ketidakjelasan informasi itu sangat berisiko buat kita yang menjalaninya,” jelas Tara.

TITP dibentuk pada 1993 untuk menyalurkan keterampilan dari Jepang ke negara-negara berkembang. Sementara EPA disepakati pemerintah Indonesia dan Jepang pada 2007 untuk mendorong sumber daya manusia.

Dalam perjalanannya, pada 2014, Komite Hak Asasi Dunia PBB merekomendasikan dengan kuat supaya Jepang mengganti skema sekarang yang merekrut tenaga kerja murah, menjadi peningkatan kapasitas.

Pelanggaran ketenagakerjaan ini sayangnya tidak mendapat perlindungan hukum yang jelas, ujar Saeki. “Khusus untuk program magang ini, tahun pertama sejak awal diberlakukan sebagai pekerja, diterapkan UU Pokok Perburuhan. Sedangkan kalau di Indonesia bukan, definisinya bukan seperti itu. Jadi memang tidak sinkron antara UU di Jepang dan UU di Indonesia,” tambahnya.