Babak Baru Petani Kendeng Tolak Pabrik Semen di Rembang

Rembang, KPonline – Memasuki bulan April ini, kondisi darurat penanganan terhadap pandemi virus corona (Covid-19) memang hal yang urgent untuk di kedepankan. Namun, beberapa petani Kendeng seolah tidak mempedulikan bahaya yang mengancam mereka dengan melakukan aksi di jalan tambang Pabrik Semen di Rembang untuk menyampaikan aspirasinya pada hari Sabtu (11/4/2020).

Aksi tersebut merupakan buntut dari kekecewaan dikarenakan pada hari Kamis (9/4/2020), telah dilakukan ceremoni penandatanganan perjanjian pendirian perusahaan patungan PT. SI (Semen Gresik) dengan 6 BUMDes sekitar pabrik semen Rembang yang dihadiri oleh Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dan direktur utama Semen Indonesia Group Hendi Priyo Santoso.

Bacaan Lainnya

“Kami melakukan aksi untuk menyampaikan beberapa hal penting mengenai perkembangan perjuangan kami, yang ternyata memiliki irisan penting dengan kondisi hari ini terkait fenomena Covid-19. Bahwa, di tengah upaya dunia menekan penyebaran virus corona, pemerintah melalui Kementerian BUMN, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Rembang, dan Semen Indonesia Group justru terus melaju dalam upaya menghancurkan Pegunungan Kendeng,” ucap Sukinah salah seorang petani kendeng yang menjadi narahubung Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) saat diminta keterangannya.

Dengan adanya penandatanganan perjanjian pendirian perusahaan patungan tersebut disinyalir bahwa kedepannya penghancuran ekosistem Pegunungan Kapur Purba Kendeng akan semakin masif. Dan pelibatan BUMDes sekitar pabrik semen Rembang diduga merupakan legitimasi masyarakat yang palsu, karena bagi warga penolak pabrik semen tidak pernah sekali pun menyetujui pendirian BUMDes tersebut, apalagi jika lini usaha yang didorong ialah yang berkaitan dengan penghancuran lingkungan yang menjadi kerisauan utama warga.

Selain itu dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, tidak hanya melalui penanganan (represif) saja untuk menekan penyebaran virus, namun seharusnya juga memikirkan langkah preventif agar situasi pandemi seperti ini tidak terulang kembali. Mengingat posisi Pegunungan Kendeng sebagai habitat asli kelelawar dan spesies-spesies liar lainnya yang perlu untuk dilindungi dari kerusakan. Berbagai peneliti telah menyampaikan bahwa kelelawar dan kerusakan habitat spesies liar yang ada di Kota Wuhan Tiongkok yang menjadi awal dari tragedi diduga kuat telah menjadi penyebab merebaknya virus Covid-19. Bahkan sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa industrialisasi di Wuhan dan Tiongkok, ternyata memberi dampak yang buruk.

“Inilah sebagai langkah preventif dari munculnya corona-corona lain dikemudian hari. Di Kendeng ini, wargalah yang akan menjadi pihak pertama merasakan tragedi semisal tragedi di Wuhan itu terjadi,”  ujar Yu Kinah, panggilan akrabnya.

Bertepatan dengan ini juga, hari Minggu (12/4/2020) ialah tepat 3 (tiga) tahun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng pertama kali dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yakni pada 12 April 2017. Hasil penelitian ilmiah ini menjadi bukti bahwa ada kondisi mendesak untuk melindungi Pegunungan Kendeng. Namun untuk kesekian kalinya pemerintah (pusat dan daerah) melakukan penyangkalan terhadap data ilmiah, terlebih untuk kesekian kalinya pula pemerintah melakukan upaya kontraproduktif dengan kondisi keterdesakan yang sebenarnya sedang terjadi. Hal itu sebagaimana dapat diperhatikan ketika awal-awal Pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia semisal penyangkalan informasi bahwa corona telah masuk ke Indonesia.

“Meremehkan apalagi menyangkal data ilmiah merupakan cacat berpikir yang sudah seharusnya dihindari. Semisal dalam pemaparan ilmiah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng (Jilid I dan II), yang sudah menjelaskan secara rinci potensi hilangnya habitat kelelawar dan spesies liar lainnya itu, jika penambangan dan pabrik semen diizinkan berlangsung. Hal itu belum termasuk rusaknya sumber air dan sumber pangan yang menghidupi tidak hanya manusia, namun juga spesies-spesies hewan,”  lanjutnya kemudian.

Di tengah krisis Covid-19 ini, warga berpendapat bahwa karantina terhadap potensi virus semacam Covid-19 itu harus dilakukan terlebih dahulu melalui pembatasan berskala besar terhadap upaya eksploitasi yang menghancurkan ekosistem dan habitat asli hewan liar semacam kelelawar yang berpotensi menularkan virusnya ke manusia. Namun di Rembang sendiri ada sinyalemen dari pemerintah daerah untuk memaksakan pendirian pabrik semen, sedangkan di Pati, dapat dilihat dengan masih terus beroperasinya berbagai praktek penambangan di dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Sukolilo maupun di luar kawasan namun menurut KLHS Pegunungan Kendeng, menunjukkan kesesuaian dengan kriteria KBAK.

Sebelumnya, dari pihak warga telah melayangkan laporan dugaan pelanggaran administratif yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah ke Ombudsman RI pada tanggal 19 Desember 2019 dan telah diregistrasi setidaknya 14 Februari 2020 lalu. Dalam momentum ini pula, warga penolak pabrik semen Rembang juga menyentil Ombudsman RI tentang laporan mereka tersebut.

“Kapan laporan kami ditindaklanjuti lebih jauh? Kami meminta agar Ombudsman secara serius dan jujur menangani laporan kami tersebut, demi akses keadilan yang kami perjuangkan. Hentikan penghancuran alam di Pegunungan Kendeng dan tutup pabrik semen di Rembang!” tegas Yu Kinah. (sup)

Pos terkait