5 Langkah Dalam Menghadapi PHK

Jakarta, KPonline – Ada beberapa langkah penting, yang harus selalu diingat oleh setiap buruh dalam menghadapi proses PHK. Hal ini dirasa perlu diketahui oleh setiap buruh yang sedang mengalami proses PHK, agar tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan.

Langkah pertama yang harus diingat dan ditanamkan dalam pemikiran setiap buruh adalah tidak boleh ada PHK. Sedapat mungkin, pihak pengusaha, pekerja, pihak serikat pekerja, dan pihak pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Hal ini sejalan dengan pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003.

“Ingat itu ya. Segala upaya harus dilakukan agar jangan ada terjadi PHK. Jadi, serikat pekerja jangan lagi begitu mudah menyetujui PHK. Karena itu, yang harus kita pertanyakan dengan dengan tegas adalah, apakah sudah dilakukan upaya untuk mencegah agar tidak terjadi adanya PHK,” ujar Kahar S Cahyono, dalam memberikan materi pendidikan perburuhan yang bertajuk pelatihan online.

“Dalam situasi pandemi wabah Covid-19 seperti ini, saya mengusulkan agar serikat pekerja menggugat pemerintah, karena tidak melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam mencegah agar tidak terjadinya PHK. Sehingga data dari Kementerian Tenaga Kerja, dimana sudah ada 1,4 juta buruh yang dirumahkan dan di PHK, dapat dicegah kenaikan angkanya. Seakan-akan mereka aji mumpung dalam memanfaatkan pandemi wabah Covid-19 ini,” lanjutnya.

Langkah kedua yang penting untuk diingat setiap buruh dalam proses PHK yaitu melakukan perundingan. Jika segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka proses selanjutnya harus dilakukan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

Maksud dari PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja, adalah agar pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Hal ini diatur didalam pasal 151 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003. Karena itu, tidak ada yang namanya istilah PHK sepihak. PHK itu wajib dirundingkan dengan pekerja.

Mengajukan permohonan penetapan kepada lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah langkah ketiga yang perlu dilakukan dalam sebuah proses pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena ketika perundingan tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat melakukan PHK terhadap pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal ini diatur dengan jelas dalam pasal 151 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003.

PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial akan batal demi hukum. Hal ini dipertegas didalam pasal 155 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. “Inilah yang saya bilang, pengusaha tidak berhak melakukan PHK terhadap buruh. Karena jika PHK yang dilakukan sepihak, maka PHK itu batal demi hukum,” jelas Ketua Departemen Bidang Informasi, Komunikasi dan Propaganda DPP FSPMI.

Meskipun pengusaha adalah pemilik perusahaan dan sekaligus yang memiliki uang untuk membayar pesangon, pihak pengusaha tidak bisa serta merta melakukan PHK. Dengan kata lain, PHK harus dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan, bukan semata-mata didasarkan pada keinginan dan “seenak jidat” pengusaha.

Dan jangan melupakan kewajiban masing-masing pihak, pun meski proses pemutusan hubungan kerja (PHK) masih berjalan. Hal ini merupakan langkah keempat yang perlu diketahui oleh setiap pekerja.

Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Dalam hal ini, termasuk kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah pekerja. Hal ini diatur dalam pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.

Apabila pengusaha tidak ingin pekerja menjalankan kewajibannya (tetap bekerja), pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan di atas, berupa tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja sesuai pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003.

“Bagaimana kalau pihak pekerja tidak di skorsing ? Apakah pengusaha wajib membayar upah buruh selama PHK belum berkekuatan hukum tetap? Ya, harus. Upah buruh harus dibayar, meskipun buruh tidak bekerja.

Dasarnya adalah pasal 93 ayat (2) huruf f UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pada intinya, pasal itu mengatur, pengusaha wajib membayar upah buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha. (RDW)