Apa yang Dipikirkan Pemerintah Terhadap Buruh?

Semarang, KPonline – Membaca isi dari Surat Edaran Menteri No B.240/M-NAKER/PHISSK-UPAH/X/2018 tertanggal 15 Oktober 2018 membuat para buruh meradang, ini bukan Surat Edaran Menteri melainkan surat ancaman yang memaksakan kenaikan upah 2019 menggunakan PP78/2015 kepada seluruh kepala daerah di Indonesia.

Dengan beralasan untuk mensukseskan paket kebijakan Ekonomi jilid IV, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menebar ancaman untuk mencopot kepala daerah yang tidak menjalankan paket kebijaksanaan ekonomi tersebut.

Bacaan Lainnya

Dengan hanya kenaikan UMK sebesar 8.03% dari UMK tahun 2018 akan membuat selisih UMK tiap daerah akan semakin melebar.  Padahal kebutuhan hidup sehari hari tiap daerah sama, bahkan survey KHL yang dilakukan oleh Serikat Pekerja di Semarang dari bulan Januari 2018 mencapai angka 2,5 jutaan atau dengan kata lain upah di tahun 2018 ini saja sebenarnya belum mampu mencukupi kebutuhan hidup layak bagi seorang buruh lajang.

Apalagi yang sudah berkeluarga dengan hanya upah UMK mampukah untuk menghidupi keluarganya. Belum lagi ditambah  dengan kenaikan harga BBM yang mungkin menjadi efek domino memicu kenaikan harga harga barang yang lain.

Mampukah buruh untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang tertinggi agar tidak lagi-lagi menjadi buruh seperti orang tuanya? Apakah anak buruh tidak boleh memiliki pendidikan yang lebih tinggi? Apakah buruh harus terus menerus turun ke jalan untuk memperjuangkan upah pada pemerintah untuk kenaikan UMK.

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak para buruh. Mereka butuh pemerintah yang mau mendengar aspirasi rakyatnya terutama para buruh, mereka hanya butuh pemerintah yang tahu akan kebutuhan rakyatnya, bukan pemerintah yang hanya mengumbar janji untuk mensejahterakan rakyatnya tapi kenyataannya nol besar.

Buruh telah dimiskinkan secara sistematis. (Defi Safita)

Pos terkait