Antara Gagap dan Tak Dianggap

Jakarta, KPonline – Thesis itu berjudul How Empowering is Internet for Indonesia Labor Movement (a Study of Transmedia Organizing in KSPI and KPBI). Ditulis oleh aktivis buruh KPBI, Guruh Dwi Riyanto alias Ahong.

Saya kira, tidak banyak orang yang mengambil tema serikat buruh dari sisi media. Tentang bagaimana serikat buruh menggunakan “media baru” dalam mengorganisir perlawanan.

Bacaan Lainnya

Secara sederhana media baru adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya adalah web, blog, online social network, online forum dan lain-lain yang menggunakan komputer sebagai medianya.

Diakui, media merubah banyak hal. Media tidak hanya birokrasi serikat pekerja, tetapi juga bagaimana isu-isu perjuangan disampaikan.

Bukan hal yang sulit, misalnya, saat ini anggota serikat buruh mengkritik pemimpin federasi/konfederasi melalui media sosial yang dimilikinya. Bahkan isu yang viral di media sosial, bisa mempengaruhi kebijakan struktur serikat buruh.

Sebagai medium untuk menyampaikan informasi, media bisa menjadi satu alternatif. Sebagai contoh, kita tidak perlu datang ke Aceh hanya untuk menyampaikan sikap organisasi yang diputuskan di Jakarta.

Jika ke internal ia berperan untuk menguatkan, menambah keyakinan dan pemahaman, ke eksternal untuk mendapatkan dukungan publik yang lebih luas.

Media Sosial Merubah Dunia

Dilansir tirto.id, pemanfaatan media sosial seperti Twitter, Facebook hingga YouTube untuk skala yang lebih besar sebagai wadah menggalang massa untuk perlawanan politik terjadi pada 2010.

Masyarakat Tunisia tergerak hatinya saat ada aksi bunuh diri dengan cara membakar diri seorang pemuda penjual sayur yang barang dagangannya dijarah aparat polisi.

Masyarakat pro perubahan memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menggalang kekuatan melawan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali, yang berbuah “Revolusi Tunisia”.

Ini persis yang terjadi di Mesir sesudahnya, ribuan orang menyemut di Tahrir Square, Kairo, Mesir untuk menurunkan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa sejak lama. Salah satu pemicu aksi massa saat itu karena sebuah laman di Facebook yang bernama “Simple, Anonymous”.

Laman Facebook itu dibuat oleh seorang aktivis sekaligus pekerja Google bernama Wael Ghonmin. Ghonmin memberikan keterangan dalam halaman Facebook “Kami semua adalah Khaled Said”.

Khaled Said, merupakan sosok yang mirip dengan Mohamed Bouazizi, pemuda yang membakar diri dan memicu revolusi di Tunisia. Sedangkan Khaled Said merupakan seorang pemuda yang disiksa hingga mati oleh polisi Mesir. Kematiannya, menjadi salah satu pemicu kemarahan masyarakat yang sudah muak dengan pemerintahan rezim Hosni Mubarak.

Dalam aksi revolusi yang terjadi di Mesir enam tahun lalu,   The Guardian menuliskan terjadi lonjakan Tweet yang sangat besar. Kicauan di Twitter dengan tagar #Jan25, yang semula hanya berjumlah 2.300 Tweet, melonjak menjadi 130.000 Tweet per hari selama seminggu sebelum pada akhirnya Presiden Hosni Mubarak mundur dari Jabatannya.

Fawas Rashed, salah satu demonstran mengungkapkan, “kami menggunakan Facebook untuk penjadwalan aksi protes, (menggunakan) Twitter untuk (menentukan) koordinat (lokasi protes), dan (menggunakan) YouTube untuk mengabarkan pada dunia.”

Pengetahuan dan Keterampilan Perlu Ditingkatkan

Namun demikian, untuk mengorganisir dan mengkonsolidasikan perlawanan, tidak cukup hanya mengandalkan media sosial. Jangan sampai terjadi (jangan-jangan sudah terjadi), tatap muka menjadi berkurang. Organizer merasa cukup sekedar memposting informasi di grup WhatsApp atau facebook. Akhirnya budaya rapat akbar menjadi berkurang.

Meskipun diakui penting, sayangnya, tidak banyak serikat buruh yang menekuni ini secara serius. Kader-kader inti serikat buruh lebih tertarik belajar hukum ketimbang belajar komunikasi. Sehingga seringkali mereka gagap ketika memanfaatkan media dalam perjuangannya.

Ada banyak kader serikat buruh yang bisa melakukan orasi dan berbicara teori yang ndakik-ndakik, tetapi gagap untuk menuliskan pemikirannya dalam satu artikel yang utuh. Sedikit yang mampu merumuskan gagasan perjuangan dalam satu meme atau video pendek.

Padahal zaman sudah berubah. Metode perjuangan, melakukan agitasi dan propaganda, mustinya juga disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Kecuali jika kita memang tidak menganggap media sebagai strategi penting untuk memenangkan pertarungan pemikiran dan gagasan.

Pos terkait