26 Aktivis Korban Kriminalisasi Tolak Polisi Menjadi Saksi

“…penting adanya partisipasi. Kehadiran secara fisik dalam setiap persidangan. Atau, ruang sidang akan dipenuhi polisi?”

Jakarta, KPonline – Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, semalam, ketika saya tiba di LBH Jakarta. Agenda malam itu adalah rapat litigasi untuk 26 aktivis yang dikriminalisai. Hadir dalam rapat ini adalah Muhamad Rusdi,Ilham Syah, Budi Wardoyo, Hasan, Heri Hermawan, dan beberapa kawan dari LBH Jakarta.

Bacaan Lainnya

Rapat sengaja dilakukan malam hari, karena siangnya ada pertemuan di Hotel Mega Proklamasi dengan beberapa element dalam rangka tukar pengalaman dalam membangun alat politik bagi gerakan. Hadir dalam pertemuan ini kawan-kawan dari Rumah Rakyat Indonesia, Serikat Petani Indonesia, Organisasi Rakyat Indonesia, dan Partai Buruh. Pertemuan ini ditutup pukul delapan malam lewat sekian belas menit, sebelum kemudian bergeser ke LBH hingga menjelang pukul sebelas malam.

Sebaiknya kita tinggalkan dulu pertemuan di Mega Proklamasi untuk kemudian beralih pada 26 aktivis yang dikriminalisasi. Terlebih lagi, persidangan atas perkara ini sudah memasuki tahap pemeriksaan saksi. Senin lalu (6/6/2016), Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi pelapor, yang notabene adalah mantan Kapolres Jakarta Pusat Kombes (Pol) Hendro Pandowo.

Sejak awal, kuasa hukum Terdakwa menyatakan keberatan terhadap pemeriksaan polisi dan/atau penyidik sebagai saksi dalam persidangan perkara ini. Adapun alasan yang mendasari penolakan ini merujuk pada Pasal 185 ayat (6) KUHAP yang menyatakan keterangan saksi haruslah bebas, netral, objektif, dan jujur. Dalam hal ini, putusan MA Nomor: 1531 K/Pid.Sus/2010 menegaskan, keterangan dari penyidik tidak dapat diterima karena mengandung konflik kepentingan mengingat posisinya sebagai polisi yang membuat mereka berkehendak agar perkara yang ditanganinya akan berhasil di pengadilan dalam arti berujung pada penghukuman kepada terdakwa.

Kita tahu, Kepolisian adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dimana dalam melakukan peran tersebut, Kepolisian merupakan satu kesatuan.

Dalam kaitan dengan itu, sangat logis jika kita khawatir, pihak kepolisian akan tidak objektif dan independent dalam memberikan keterangan pada perkara ini.

Kekhawatiran kita terbukti. Saksi banyak mengatakan tidak tahu atau lupa untuk pertanyaan-pertanyaan kunci, namun, sayangnya, Majelis Hakim memaklumi . Seperti adanya aksi pada malam hari selain yang kita lakukan pada malam tanggal 30 Oktober tahun lalu, tentang adanya kekerasan dan pengrusakan saat penangkapan, atau ketika Obed Sakti memperkenalkan diri dan berkoordinasi dengan Hendro. Saksi juga tergolong sakti. Karena sekitar pukul sepuluh malam membuat LP di Polres Jakpus, dan pada pukul yang sama menjalani BAP di Polda Metro Jaya.

Padahal dalam sidang tersebut Kuasa Hukum terdakwa juga menampilkan bukti berupa rekaman video yang memperlihatkan tindakan brutal aparat kepolisian ketika melakukan pembubaran unjuk rasa damai buruh.

Posisi saya di depan Istana pada saat kejadian, sehingga saya tidak mengetahui apa yang terjadi saat pembubaran, sesaat setelah gas air mata ditembakan, jauh itu,” kata Hendro menanggapi video tersebut.

Dalam sidang kali ini pula para Kuasa Hukum Terdakwa memutar rekaman beberapa unjuk rasa yang dilakukan pada malam hari. Unjuk rasa tersebut tidak dibubarkan bahkan difasilitasi dengan baik oleh aparat kepolisian, namun hal berbeda dialami oleh unjuk rasa yang dilakukan oleh para buruh 30 Oktober 2015.

Pengacara publik LBH Jakarta Maruli bahkan sejak awal sudah mencurigai, “Pengadilan ini bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk membungkan gerakan.” Dan karena itu, perlawanan tidak cukup hanya dengan litigasi, tetapi juga nonlitigasi. Untuk itulah, penting adanya partisipasi. Kehadiran secara fisik dalam setiap persidangan.

Intinya, kami menunggu kehadiran kawan-kawan di PN Jakarta Pusat. Senin, 13 Juni 2016 jam sepuluh pagi. (*)

Pos terkait