Pelalawan, KPonline – Kriminalisasi dan diskriminasi terhadap buruh yang memilih untuk berserikat di Provinsi Riau masih menjadi persoalan serius. Para pekerja dari sektor perkebunan maupun aneka industri mengalami tekanan, intimidasi, bahkan pemutusan hubungan kerja sepihak hanya karena membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja. Fenomena ini menjadi ancaman terhadap kebebasan berserikat yang dijamin oleh undang-undang. Kamis, (3/7/25).
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FSPMI Riau, Satria Putra, bersama Ketua Konsulat Cabang FSPMI Kabupaten Pelalawan, Yudi Efrizon, menyoroti keras praktik pengusaha yang melawan semangat demokrasi industrial ini. Selain itu, beberapa buruh perkebunan dan aneka industri juga memberikan kesaksian langsung tentang tekanan yang mereka alami karena aktivitas serikat pekerja.
Kasus-kasus kriminalisasi dan diskriminasi buruh ini terjadi di sejumlah Kabupaten di Riau, terutama di Pelalawan, Siak, dan Kampar. Kejadian terbaru bahkan terjadi pada pertengahan tahun 2025 ini, ketika sejumlah buruh perkebunan yang aktif mengadvokasi hak normatif dilaporkan secara sepihak oleh pihak perusahaan ke aparat, dengan tuduhan melanggar ketertiban kerja.
Menurut Satria Putra, pengusaha memandang keberadaan serikat pekerja sebagai ancaman terhadap dominasi mutlak perusahaan atas buruh. “Ada upaya sistematis dari perusahaan untuk mematikan gerakan buruh sejak dini, mulai dari mutasi sepihak, pemotongan insentif, hingga ancaman hukum yang mengada-ada,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa sebagian pengusaha masih belum siap dengan budaya hubungan industrial yang berkeadilan.
Yudi Efrizon menjelaskan bahwa bentuk diskriminasi bisa sangat halus hingga brutal. “Ada buruh yang tidak diperpanjang kontraknya setelah ikut pelatihan serikat, ada pula yang dipanggil manajemen hanya karena mengenakan pin FSPMI,” jelas Yudi.
Bahkan ada kasus di mana buruh dilaporkan ke polisi dengan tuduhan merusak citra perusahaan hanya karena memposting keluhan di media sosial.
Para buruh yang menjadi korban mengaku trauma dan kehilangan mata pencaharian. Seorang buruh perkebunan menyampaikan,
“Kami hanya ingin menyuarakan hak, bukan mencari musuh. Tapi malah dianggap pembangkang.” pungkasnya
Buruh industri pun mengalami hal serupa. Mereka yang bersuara dianggap provokator dan dikeluarkan tanpa pesangon. Situasi ini membuat buruh semakin takut berserikat dan hak-hak dasar makin terpinggirkan.
DPW FSPMI Riau mendesak pemerintah daerah, DPRD, dan aparat penegak hukum untuk tidak tutup mata. “Pemerintah harus hadir menjamin kebebasan berserikat dan memberi sanksi kepada perusahaan yang melanggar hak-hak dasar buruh,” tegas Satria.
FSPMI juga menyerukan solidaritas antarburuh dan mendesak publik untuk ikut mengawal isu ini sebagai bagian dari perjuangan demokrasi di tempat kerja.
Penulis : Heri
Foto Dokumentasi : MP Pelalawan