“Sejarah Terburuk Upah Buruh di Jawa Timur”

Seorang buruh memperlihatkan tulisan, "Lomba Kerja Bupati." (Foto: Media Perjoeangan Mojokerto)

Surabaya, KPonline – Buruh di Jawa Timur mengancam akan menduduki dan menginap di gedung negara Grahadi Surabaya. Aksi ini sebagai respon terhadap Gubernur Jawa Timur yang mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 121 Tahun 2016 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Jawa Timur Tahun 2017, sebesar 8,25 persen. Padahal, di Jawa Timur, khususnya di ring 1, beberapa Bupati yang merekomendasikan upah minimum lebih tinggi dari formula yang ditetapkan dalam PP 78/2015.

“Senin pekan depan ribuan buruh dari kawasan ring 1 Jatim akan menggelar aksi dan siap menduduki dan menginap di Gedung Grahadi,” kata Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Timur, Jazuli.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan Pergub tersebut, upah minimum di lima daerah ring 1 Jatim meliputi Kota Surabaya sebesar Rp 3.296.212,50, Gresik Rp 3.293.505,25, Sidoarjo Rp 3.290.800, Kabupaten Pasuruan Rp 3.288.093,75, dan Kabupaten Mojokerto Rp 3.279.975.

Padahal, beberapa Bupati sudah merekomendasikan kenaikan upah minimum lebih tinggi dari formula yang ditetapkan dalam PP 78/2015. Sebagai contoh, Kabupaten Gresik merekomendasikan kenaikan upah minimum sebesar Rp 3.700.000, Kabupaten Pasuruan yang merekomendasikan Rp 3.584.200, dan Sidoarjo merekomendasikan Rp 3.586.872. Namun sayangnya, semua rekomendasi itu tak dianggap sama sekali oleh Gubernur Jawa Timut.

“Ini adalah sejarah terburuk upah buruh di Jatim khususnya di wilayah ring I, karena upah buruh tahun 2017 mendatang akan mengalami penurunan, bahkan tidak ada UMSK,” kata Jazuli.

Menurut Jazuli, penetapan UMK Jatim tahun 2017 oleh gubernur adalah bukti nyata politik upah murah diterapkan di Jatim. Bahkan usulan bupati/wali kota ditekan supaya diturunkan sesuai dengan PP No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan, dimana kenaikan UMK Jatim 2017 hanya sebesar 8,25 persen mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

“Kami juga berkoordinasi dengan LBH Surabaya untuk mengajukan upaya hukum,” tegas Jazuli.

Pertimbangan kaum buruh menempuh upaya hukum itu dilakukan karena di beberapa daerah besaran UMK Jatim 2017 sama dengan Upah Minumum Provinsi (UMP) 2017. Dimana Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan besaran UMK sama dengan UMP yaitu Rp.1.388.847,50. Padahal harusnya besaran UMK itu harus lebih besar daripada UMP.

Pertimbangan lainnya, beberapa provinsi di Indonesia ada yang menetapkan kenaikan UMK tahun 2017 lebih dari ketentuan PP No.78 tahun 2015. Di contohkan Jazuli, di Jepara Jateng kenaikan UMK mencapai 18,5 persen, Semarang Jateng kenaikan UMK mencapai 11 persen, bahkan di Bekasi Jabar UMK ditetapkan sebesar Rp.3,6 juta.

Selain menolak UMK Jatim tahun 2017, FSPMI Jatim juga akan mengupayakan perberlakuan UMSK di daerah ring I agar upah buruh bisa meningkat. Sebab jika UMSK tidak lagi diberlakukan karena tidak adanya asosiasi pengusaha sektoral, maka upah buruh di Jatim tahun depan justru menurun.

“UMK Kota Surabaya 2017 ditetapkan sebesar Rp.3.296.212,50. Padahal sekarang ini kalau ditambah UMSK sudah mencapai Rp.3.340.000. Artinya, upah buruh di ring I tahun depan itu justru menurun,” tegas Jazuli.

Sebaliknya, jika UMSK masih bisa diterapkan maka upah buruh di wilayah ring I ditaksir bisa mencapai Rp.3.586.000. Ironisnya, dalam Pasal 8 ayat (1) Pergub No.52 tahun 2016 menyebutkan bahwa bupati/ wali kota mengusulkan UMSK kepada gubernur dengan tembusan kepada Dewan Pengupahan Povinsi dan ke Kepala Dinas dengan melampirkan Berita Acara Kesepakatan Assosiasi Pengusaha sektoral sejenis dengan serikat pekerja/buruh sektoral sejenis.

“Di Jatim belum ada assosiasi pengusaha sektoral sejenis, sehingga pemberlakukan UMSK tahun 2017 sulit dilaksanakan kecuali ada keberanian dari Gubernur Jatim seperti tahun 2016 ini,” beber Jazuli didampingi beberapa pengurus FSPMI Jatim lainnya. (*)

Sumber: kompas.com dan jatimtimes.com

Pos terkait