Pledoi Sekjend KSPI

Pimpinan Gerakan Buruh Indonesia (GBI) memberikan siaran pers usai persidangan. (Foto: Kascey)

Jakarta, KPonline – Selasa (15/11/2016), sidang kriminalisasi ke-26 aktivis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memasuki sidang persidangan ke-31. Adapun agenda dalam persidangan hari ini adalah penyampaian pledoi/pembelaan dari Para Terdakwa dan kuasa hukumnya atas tuntutan yang dibacakan jaksa pada pekan lalu.

Terkait dengan hal itu, Sekretaris Jenderal KSPI Muhammad Rusdi, yang juga menjadi salah satu satu tersangka akan juga akan menyampaikan pledoi. Di akun media sosial miliknya, Rusdi memberi judul pembelaannya: Buruh Menggugat “Demokrasi Korporasi”.

Bacaan Lainnya

Berikut pledoi yang disampaikan Muhammad Rusdi:

Majelis Hakim Yang Mulia.

71 tahun sudah bangsa ini mengaku telah merdeka dari penjajahan atau imprealisme yang dilakukan oleh Belanda maupun Jepang, baik yang dilakukan oleh korporasi/company ( dibaca kompeni) atau penjajahan yang dilakukan atas nama negara.

Namun, ditengah kondisi perekonomian Indonesia dikuasai hanya oleh segelintir korporasi termasuk lahan lahan/tanah dan air juga dikuasai oleh korporasi, muncul pertanyaan apakah bangsa dan negeri ini sudah merdeka dari penjajahan? Kalau belum merdeka, siapa yang melakukan penjajahannya?

Dalam proses perjalanannya hingga kini, bangsa ini kemudian mengadopsi sistem politik “demokrasi” untuk memilih pemimpin negeri ini secara langsung, membuka ruang partisipasi publik yang luas, dimana setiap warga negara berhak untuk bisa dicalonkan dan mencalonkan, sepanjang ia mempunyai dukungan massa yang besar baik melalui partai atau jalur independen.

Selain dukungan massa yang besar, juga dibutuhkan financial yang besar untuk membiayai kampanye. Sehingga pada titik ini ruang dan hak publik untuk dicalonkan menjadi tertutup.bagi orang orang yang mempunyai kualitas namun ia tidak mempuyai massa yang besar atau akses ke partai politik. Dan sebaliknya walau ia tidak mempunyai kualitas dan juga massa yang besar, namun jika didukung oleh kekuatan financial yang kuat maka potensi menangnya jauh lebih besar. Tinggal memainkan opini publik melalui lembaga survey dan iklan di media massa.

Pada titik ini, demokrasi yang sebelumnya bermakna dari, oleh dan untuk rakyat. Bisa berubah maknanya, Demokrasi pada akhirnya bermakna dari, oleh dan untuk pemodal. Calon presiden atau calon gubernur yang diusung pada akhirnya bukan muncul dari “kalangan rakyat” atau istilah yang tepat bukan dari inisiatif grass root.

Calon Presiden/ calon gubernur berasal dari pemilik modal / korporasi, dan bekerja untuk korporasi dan yang bertarung bukan hanya para ( oleh) pemilih namun juga melibatkan para korporasi /pemilik modal atau pemilik uang.

Maka istilah yang pas pada hari ini, demokrasi yang sedang berlangsung di negeri ini sesungguhnya adalah “Demokrasi Korporasi”, yakni demokrasi dari, untuk dan oleh korporasi. Rakyat atau massa hanya menjadi objek bukan lagi subjek dalam berpolitik atau bernegara.

Demokrasi Korporasi pada akhirnya hanya akan menghasilkan pemimpin palsu yang populer karena di populerkan oleh media media yg berbasis korporasi atau industri.

Demokrasi Korporasi hanya akan menghasilkan penguasa palsu, karena kekuasaan sesungguhnya di kontrol oleh para korporasi.

Sehingga program yang dijalankan oleh presiden dan gubernur palsu adalah program program untuk kepentingan korporasi bukan untuk kepentingan rakyat.

Dan apa yang mereka lakukan akan dibenarkan oleh lembaga-lembaga survey dan lembaga kajian untuk mempengaruhi opini publik.

Presiden palsu ini juga akan dibela mati matian oleh wakil rakyat palsu, karena mereka mereka yang duduk di parlemen bisa jadi bukan wakil rakyat tapi wakil korporasi yang akan bertugas menjalankan program program titipan dari para pemilik modal yang telah menitipkan modalnya.

Presiden dan gubernur palsu juga akan dibela oleh aparat-aparat bayaran yang bekerja bukan untuk rakyat namun untuk korporasi yang telah memberikan insentif.

Karenaya tidak heran jika kita kemudian tidak sadar perekonomian bangsa ini termasuk uang yang beredar dikuasai oleh hanya segelintir kororasi. Tidak heran jika 80% lahan daratan juga dikuasai oleh korporasi.

Kerja kerja korporasi yang telah menguasai semua sendi kehidupan bangsa dan negara mulai dari industri media, lembaga survey, perbankan, proverty, akses birokrasi dan wakil rakyat dan juga pemimpin partai dan ormas membuat kita tidak sadar, bahwa kita sedang dijajah dan di rampok oleh korporasi yang bergerak atas nama demokrasi dan konstitusi.

Penjajahan yang dilakukan oleh korporasi bukan hanya terjadi di Indonesia namun juga dinegara lain, korporasi korporasi tersebut ada yang berskala nasional juga international. Mereka bisa berasal dari Eropa, Amerika, Jepang, Korea dan juga Cina (baik Cina keturunan, Cina daratan dan kepulauan).

Sehingga perlawanan buruh, petani dan juga elemen rakyat lainnya pada korporasi yang hari ini didominasi oleh korporasi yang dimiliki oleh warga cina keturunan, bukanlah didasarkan pada Rasisme. Perlawanan terhadap korporasi juga pernah dilakukan terhadap korporasi belanda, korporasi jepang dan kini secara samar terhadap korporasi korporasi dari Cina.

Kritik dan perlawanan terhadap ahok dan jokowi saat ini, menjadi sebuah potret perlawanan rakyat terhadap pemimpin palsu yang dihasilkan dari Demokrasi Korporasi karena mereka sesunguhnya tidak sedang menjalankan progran untuk rakyat melainkan program untuk kepentigan korporasi.

Lahirnya PP 78/2015 yang membatasi kenaikan upah, menghilangkan hak berunding buruh dan melanggar UU Ketenagakerjaan No 13/2003 adalah salah satu bukti bahwa jokowi adalah Presidennya korporasi bukan presiden rakyat.

Bukan hanya pada kebijakan upah, Jokowi bekerja untuk korporasi, jokowi juga menerbitkan kebijakan pensiun terjelek sedunia melalui PP no 45 th 2015 tentang Jaminan Pensiun pada 1 Juli 2015 yang iurannya hanya 3% & manfaat bulanannya hanya 15-40%. Pengusaha/korporasi dilindungi oleh jokowi karena hanya membayar iuran 2%, jauh dibawah iuran pengusaha di Malaysia 11% dan Pengusaha di Singapura yang mengiur 13%.

Jokowi pada pertengahan 2016 juga menerbitkan kebijakan yang melindungi kepentigan korporasi yakni dengan memberikan ampunan bagi para pengemplang pajak melalui UU Tax Amnesty. Jokowi juga membiarkan berlangsungnya proses Reklamasi pantai jakarta yang merugikan nelayan.

Presiden rakyat seharusnya bekerja untuk rakyat, bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara Redistribusi Profit dan Aset. Agar uang beredar dan tanah tanah yang dikuasai oleh korporasi bisa di share kepada buruh, tani, nelayan dan rakyat lainnya.

Presiden rakyat seharusnya membuat kebijakan pengupahan dan jaminan sosial yang pro buruh agar profit korporasi bisa terdistribusi kepada buruh secara fair, tidak seperti saat ini yang di share hanya sisa sisa profit saja. Termasuk harus menghapus kebijakan pengampunan pajak bagi para pengusaha dan korporasi dan reformasi pertanahan/land reform untuk petani.

Dengan demikian, sesungguhnya aksi aksi buruh terutama penolakan terhadap PP 78/2015 adalah salah satu gerakan yang dikenal sebagai gerakan Redistribusi Profit melalui upah. Aksi yang dilakukan oleh buruh sejak 30 Oktober 2015 di Istana negara adalah upaya untuk meluruskan kebijakan yang salah dari Presiden yang dilahirkan dari Demokrasi Korporasi yang memiskinkan kaum buruh.

Maka sesungguhnya yang harus diadili adalah bukan 26 aktivis yang juga di aniaya oleh aparat bayaran saat aksi tersebut, yang seharusnya diadili dalam sidang ini adalah si penandatangan PP 78 tersebut dan aparat aparat bayaran.

Semoga Keadilan Akan Tegak di Negeri ini
Pancoran, 15 November 2016.

Pos terkait