Ketika Hukum Hanya Tajam ke Bawah

26 aktivis mengenakan borgol dari kardus, sebagai simbolisasi gerakan rakyat yang dibungkam.
26 aktivis mengenakan borgol dari kardus, sebagai simbolisasi gerakan rakyat yang dibungkam.

Jakarta, KPonline – Senin (4/4), buruh se-Jabodetabek kembali melakukan aksi di depan kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Aksi ini dilakukan untuk menolak kriminalisasi terhadap 26 aktivis, terkait penolakan PP No. 78 Tahun 2015 di Istana Negara akhir Oktober tahun lalu.

Aksi seperti ini akan dilakukan setiap hari Senin, sekaligus merupakan pemanasan menjelang peringatan May Day, 1 Mei 2016. Peringatan hari buruh internasional tersebut akan diikuti 1 juta buruh di seluruh Indonesia dengan 3 isu utama, yaitu stop kriminalisasi buruh dan aktivis gerakan sosial, cabut PP 78/2015-tolak upah murah-naikkan upah minimum Tahun 2017 sebesar Rp 650 ribu, dan deklarasi ormas buruh dan rakyat.

Bacaan Lainnya

Buruh dan aktivis sosial tidak akan diam dan menyerah, meskipun banyak aktivisnya yang dikriminalisasi. “Kami tidak takut terhadap kriminalisasi dan kekerasan yang bertujuan membungkam suara-suara kritis dan vokal para aktivis,” kata Presiden FSPMI Said Iqbal.

Lebih lanjut, Iqbal mengingatkan agar kepolisian dan alat penegak hukum lainnya agar tidak menjadi alat gebuk penguasa, yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

“Kemana larinya kasus papa minta saham freeport dan sumber waras serta reklamasi pantai jakarta? Tetapi kenapa giliran urusan aksi buruh dan mahasiswa, penggusuran Kampung Pulo, penangkapan guru honorer dari Brebes, mereka begitu gesit dan lincah?”

Dalam persidangan ini, ke 26 aktivis menggunakan borgol dari kardus sebagai simbol bahwa kemerdekaannya dikebiri. Kriminalisasi ini, diduga sebagai cara untuk membungkam gerakan rakyat. Maka, hal yang wajar apabila menyebutnya kriminalisasi. Karena apa yang mereka lakukan bukan kriminal. Mereka bukan penjahat, tetapi para pejuang kesejahteraan dan hak asasi manusia. Mereka tidak pantas diadili. (*)

Pos terkait