Waspadai Dihapusnya Upah Minimum Sektoral

Buruh menolak upah murah.

Jakarta, KPonline – “Apa yang akan terjadi jika upah sektoral ditiadakan?”

Pertanyaan ini disampaikan dalam FGD mengenai sistem pengupahan untuk akselerasi investasi yang diselenggarakan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Selasa (3/7/2018).

Bacaan Lainnya

KEIN sendiri merupakan lembaga yang bertugas untuk melakukan pengkajian terhadap permasalahan ekonomi dan industri, menyampaikan saran tindak strategis dalam menentukan kebijakan ekonomi dan industri nasional kepada Presiden, dan melaksanakan tugas lain dalam lingkup ekonomi dan industri yang diberikan Presiden.

Dalam kaitan dengan itu, nampaknya KEIN melihat sistem pengupahan merupakan salah satu yang perlu direvisi agar target investasi bisa tercapai. KSPI diundang, untuk memberikan masukan dari perspektif pekerja terkait dengan permasalahan pengupahan. Sedianya Deputi Presiden (Ketua Harian) KSPI Muhamad Rusdi yang akan hadir. Tetapi karena ada kepentingan yang mendesak, dia meminta saya untuk mewakili dirinya sebagai pembicara dalam FGD pada hari itu.

“Apa yang akan terjadi jika upah sektoral ditiadakan?” Terhadap pertanyaan ini, saya menjawab singkat. Jika UMSK dihapus, bisa dipastikan akan terjadi perlawanan besar-besaran dari kaum buruh.

Upah minimum sektoral adalah sebuah keniscayaan. Tidak dipungkiri, ada sektor-sektor unggulan yang memiliki profit lebih besar. Berbicara tentang keuntungan perusahaan, maka harus diakui hal itu adalah andil dari pekerja. Maka sangat wajar jika para pekerja di sektor-sektor tersebut juga mendapatkan upah yang lebih besar.

Tentu kita paham, upah minimum adalah jaring pengaman agar upah tidak terpuruk menjadi semakin murah. Bukan tidak menutup kemungkinan, ketika upah minimum sektoral ditiadakan, pengusaha yang mampu membayar upah buruh lebih baik akan memilih membayar upah buruh sebatas UMK/UMP.

Struktur dan Skaka Upah Bukan Solusi Pengganti UMSK

Bukankah ada peraturan mengenai struktur dan skala upah? Pekerja bisa berunding pada tingkat perusahaan untuk mendapat upah yang lebih tinggi — bukan ditetapkan melalui upah minimum sektoral.

Pemahaman seperti itu salah kaprah. Struktur dan skala upah menjadi kewajiban pengusaha untuk menyusunnya. Kalau pun pengusaha tidak melibatkan pekerja dalam menyusunnya, bukanlah menjadi soal.

Memang, ada ketentuan bahwa upah minimum hanya berlaku di bawah satu tahun.  Tetapi jangan juga dilupakan, masih banyak pekerja yang mendapatkan upah di bawah ketentuan upah minimum. Terhadap ketentuan ini saja, yang semestinya merupakan pelanggaran pidana kejahatan, Pemerintah nyaris tidak berdaya. Lalu bagaimana kita bisa percaya ketentuan yang hanya mengandung sanksi administratif akan diindahkan?

Di banyak perusahaan, terutama yang tidak terdapat serikat pekerja di dalamnya, daya tawar perundingan sangat lemah. Tidak jarang permintaan untuk merundingkan upah justru berakhir pada pemecatan.

Itulah sebabnya, UMSK adalah keharusan. Ia hadir semakian instrumen untuk memastikan agar kerakusan korporasi tidak menjadi-jadi.

Menggugat PP 78/2015

FGD juga menyinggung permasalahan PP 78/2015 tentang Pengupahan.

Nampaknya, kalangan pengusaha beranggapan bahwa PP 78/2015 lebih memberikan kepastian. Karena mereka bisa memprediksi kenaikan upah dari tahun ke tahun menjadi lebih mudah.

Bagi pekerja, PP 78/2015 juga memberikan kepastian, yaitu kepastian untuk membuat upah menjadi tetap murah. Sebelum PP 78/2015, kenaikan upah buruh bisa mencapai 20 hingga 60 persen. Dengan PP 78/2015, kenaikan upah minimum tahun 2018 sebesar 9,29 persen dan di tahun sebelumnya hanya 8,20 persen.

Daerah yang upah minimumnya rendah, maka sampai kapan pun akan tetap rendah. Hal ini karena rumus kenaikan upah minimum di seluruh Indonesia dibuat seragam berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi.

Inflansi tidak mencerminkan kenaikan kebutuhan yang sering dikonsumsi buruh. Kebutuhan buruh yang terbesar adalah untuk makanan. Inflansi khusus untuk makanan seringkali lebih besar dari inflansi secara keseluruhan. Sebagai contoh, Badan Pusat Statistik mengumumkan inflansi pada bulan Juni 2018 sebesar 0,59 persen. Sedangkan bahan makanan yang mengalami inflasi 0,88 persen karena kenaikan beberapa harga komoditas pangan.

Jika upah dikaitkan dengan akselerasi investasi, solusinya adalah cabut PP 78/2015. Sebelum PP 78/2015 diberlakukan, investasi tetap tumbuh. Kekuatan ekonomi Indonesia juga cukup signifikan.

Ini pun diakui. Bahwa upah bukan faktor utama penghambat investasi. Beberapa pakar menilai, hambatannya adalah pada skill (keterampilan) pekerja Indonesia yang dinilai rendah. Padahal, jika mau jujur, di situlah intinya. Dengan upah yang lebih baik, maka buruh bisa mengupgrade kemampuannya. Bagaimana skill bisa ditingkatkan, jika upah yang diterima selalu besar pasak daripada tiang.

Tirulah Jerman, yang tidak saja menaikkan upah, tetapi juga mengurangi jam kerja. Agar para buruh memiliki waktu istirahat yang cukup, ada waktu untuk belajar, dan pada gilirannya produktivitas bisa ditingkatkan.

Sebaliknya, dengan PP 78/2015 yang membatasi kenaikan upah, maka yang terjadi adalah menurunnya daya beli dan banyaknya PHK yang terjadi. KSPI mencatat ada gelombang PHK pada 2015, 2016, dan 2017. Dalih bahwa PP 78/2015 akan menghindarkan  buruh dari PHK akibat upah yang “ketinggian” hanyalah modus belaka.

Pos terkait