Usai Aksi

Jakarta, KPonline – Usai aksi tanggal 25 Agustus kemarin, saya dan beberapa kawan tertahan di depan Gedung DPR. Saya masih harus mendampingi Sekjend FSPMI Riden Hatam Aziz yang hendak diwawancarai Kompas TV.

Wawancara itu sendiri dilakukan sekitar jam 16.30 wib. On air.

Sebagai bagian dari tim media, saya harus memastikan kegiatan ini berjalan lancar. Karenanya saya tetap bertahan di sana.

Usai wawancara, saya tidak bisa segera pulang. Masih harus menunggu kendaraan umum, yang karena jalanan macet, baru ada sekitar jam 18.00.

Ini bukan tentang pulang telat. Tetapi tentang sebuah kisah, bahwa setiap aksi tidak hanya berhenti dengan menyampaikan orasi.

Ketika orang-orang sudah pulang ke rumah, masih ada sebagian dari kita yang merajut cerita. Mengabarkan pada dunia tentang apa yang kita perjuangkan.

Kenyataannya, ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tergabung dalam tim media. Tetapi juga oleh banyak kawan, melalui media sosialnya masing-masing.

Harus diakui, itulah yang membuat aksi-aksi buruh makin semarak. Menggema lebih lama, meski aksinya sendiri sudah usai.

Fenomena ini memperlihatkan sepenggal fakta, mulai tumbuhnya kesadaran akan pentingnya media di kalangan pergerakan. Kesadaran yang, sebenarnya bukan lagi barang baru.

Bahkan mulai banyak yang menekuni dengan serius. Beberapa PUK, bahkan menjadikan pelatihan media sebagai salah satu program rutin yang diselenggarakan. Sama pentingnya dengan pendidikan dasar mengenai serikat pekerja, advokasi, bahkan public speaking.

Berbicara media, sejatinya kita berbicara mengenai alat untuk melakukan diseminasi atas pikiran kita. Menarasikan apa yang sedang kita perjuangkan, agar semakin banyak yang paham.

Dalam beberapa hal, ia menjadi keterampilan yang sangat teknis. Kita benar-benar harus meluangkan waktu untuk mengerjakannya. Tidak bisa dilakukan sambil lalu.

Tidak hanya saat aksi. Sebelum dan sesudah aksi, tuntutan harus terus kita suarakan. Jangan berhenti.