Upah Padat Karya Kesalahan Serikat Pekerja?

Jakarta, KPonline – Seorang kawan mengatakan, keluarnya upah padat karya bukan 100% kesalahan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, atau Bupati/Walikota yang merekomendasikan. Tetapi salahnya serikat pekerja sendiri yang membuat kesepakatan.

Teman saya ini mengungkapkan, upah padat karya tersebut ada yang disepakati di tingkat Kabupaten/Kota. Ada kota yang sepakat 100%, ada Kabupaten yang 50% serikatnya menolak, dan tentu saja ada yang ditolak oleh 100% serikat pekerjanya. Bupati mengirimkan rekomendasi ini ke Gubernur Jabar November 2016, tapi tetap di tolak oleh Aher.

Bacaan Lainnya

Setelah itu, pengusaha masif meloby serikat pekerja tingkat Provinsi Jawa Barat. Sehingga dapatlah “kesepakatan” antara Apindo dengan 3 serikat tingkat propinsi tersebut. Lalu Pengusaha datang lagi ke Gubernur Jawa Barat. Ternyata Aher masih tetap tidak mau mengeluarkan SK Upah Minimum sektor garmen.

Selanjutnya, mereka meluncurlah ke Wakil Presiden. Kemudian Jusuf Kalla bersama Menaker memanggil semua Bupati, Walikota di 4 wilayah tersebut plus Gubernur Jawa Barat.

“Tak lama kemudian, lahirlah upah padat karya,” katanya. Lebih lanjut, menurutnya, ini adalah kesalahan dari serikat pekerja.

Benarkah demikian? Dalam beberapa hal, saya setuju dengan pendapat ini. Bahwa lahirnya upah padat karya bukan 100% kesalahan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, atau Bupati/Walikota. Tetapi menyimpulkan bahwa itu adalah kesalahan serikat pekerja, merupakan sebuah sikap yang naif. Apalagi tidak dijelaskan, serikat pekerja mana yang setuju dengan adanya upah padat karya.

Setidaknya hingga saat ini, saya belum mendengar ada serikat pekerja yang terang benderang menyatakan setuju dengan upah padat karya yang nilainya di bawah upah minimum. Jika pun ada yang menyepakati, maka harus di cek kembali, kesepakatan itu dibuat atas dasar keputusan serikat atau sebagai pribadi. Hal ini penting, karena bisa berakibat serius, bisa memunculkan sikap antipati atau ketidakpercayaan kaum buruh terhadap serikat pekerja.

Jangan lupa, bahwa upah murah adalah kebijakan rezim. Berbagai perangkat aturan agar upah menjadi murah sudah disiapkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Ada Inpres Nomor 9 Tahun 2013 yang mengamantkan adanya pembedaan upah padat modal dan padat karya. Ada PP 78/2015 yang menjaga agar upah tetap murah. Secara bersamaan, kita juga harus memblejeti kebijakan rezim yang pro terhadap upah murah.

Kita tidak bisa gebyah uyah hanya karena sebuah kasus yang terjadi. Ambil contoh, misalnya. Apakah kita akan mengatakan semua orang Farisi jahat, hanya karena banyak dari kalangan ini yang membuat ulah? Tidak, bukan? Buktinya, adalah Nikodemus, seorang Farisi yang justru tidak setuju dengan ulah rekan-rekannya. Nikodemus lah yang kemudian dengan gagah berani menentang rencana jahat dari kaumnya itu.

Contoh perlawanan terhadap upah padat karya, bisa dilihat pada hari Selasa (8/8/2017). Ketika buruh dari berbagai daerah kembali bergerak untuk menegaskan sikapnya: menolak penetapan upah padat karya.

Sebelumnya, pada hari Rabu tanggal 2 Agustus, FSPMI juga melakukan aksi di Gedung Sate, Bandung, mendesak upah padat karya dicabut. Aksi ini dihadiri Deputi Presiden FSPMI Obon Tabroni, Wakil Presiden FSPMI Rustan, dan sejumlah pimpinan organisasi yang lain.

Gugatan pun sedang dipersiapkan oleh LBH FSPMI. Serikat Pekerja FSPMI akan melawan secara litigasi, dengan menggugat Gubernur Jawa Barat atas keluarnya SK Padat Karya itu.

Jangankan upah padat karya yang nilainya di bawah upah minimum. Kita juga melawan upah minimum yang dirasa tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak. Di PTUN DKI Jakarta, Selasa (8/8/2017), buruh berhasil mengalahkan Gubernur terkait mekanisme penetapan upah minimum. Hal yang sama sebelumnya terjadi di PTUN Serang, terkait upah minimum Kabupaten Tangerang. Di Medan, Semarang, Jepara, perlawanan terhadap upah murah di dalam pengadilan terus dilakukan. Semua itu digerakkan oleh serikat pekerja. Sila tanya google jika penasaran serikat pekerja mana yang memotori gerakan itu.

Ketika disebut, ada serikat pekerja di tingkat Provinsi yang menyepakati upah padat karya. Semua pihak malu-malu mengakui. Tetapi tidak dengan Ketua DPW FSPMI Jawa, Barat Baris Silitonga. Baris secara terbuka justru mengakui, bahwa dia ikut menandatangani persetujuan upah padat karya tersebut.

Terkait dengan hal itu, secara terbuka Baris meminta maaf. Bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah bentuk kebodohan. Kesalahan yang besar. Banyak yang memberikan apresiasi terhadap sikap Baris yang meminta maaf. Dalam hal ini, Baris tidak memiliki beban, terlebih lagi dia sudah mencabut kesepakatan itu. Saya sendiri menilai, Baris laksana seorang kesatria ketika menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Katakanlah dalam hal ini Baris salah. Tetapi dalam banyak hal yang lain, saat-saat terberat dalam perjuangan ini, dia selalu berada di depan.

Tentu saja, FSPMI tidak membenarkan apa yang dilakukan kader terbaiknya ini. Baris sudah dipanggil DPP FSPMI dan diminta menjelaskan atas tindakan yang diambilnya. Baris sudah menjelaskan apa yang terjadi, menyadari kesalahannya, meminta maaf secara terbuka, dan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, Baris juga menyatakan mundur dari Ketua DPW FSPMI Jawa Barat.

Selain itu, Baris juga sudah mencabut kesepakatan yang bertentangan dengan aturan ketenagakerjaan tersebut baik lisan maupun tertulis. Terus terang, inilah yang membuat saya bangga menjadi FSPMI. Para pemimpinnya bertanggung jawab.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *