Tulisan Tentang Buku Yang Tidak Di Tulis Di Hari Buku

Saya baru saja membaca status Media Perdjoeangan Batam yang memberikan ucapan selamat Hari Buku Sedunia, tanggal 23 April kemarin. Di sana disertakan foto sebuah buku berjudul “Sepasang Mata di Panasera”. Buku ini menjadi tonggak penting bagi buruh di Batam, karena seluruhnya ditulis oleh mereka yang bekerja di beranda depan Indonesia.

Itulah awalnya. Hingga kemudian saya menulis catatan ini. Catatan tentang buku, yang ditulis tidak di hari buku — karena sudah berlalu.

Bacaan Lainnya

Di dunia, hari buku didasarkan pada hari kematian William Shakespeare dan Inca Garcilaso de la Vega. Ia adalah penulis terkenal yang menghasilkan karya-karya fenomenal.

Tetapi bukan kematiannya yang sedang diperingati. Secara filosofi, ia hendak merayakan karya-karya yang dilahirkan, yang tetap hidup beratus tahun sejak ia dituliskan.

* * *

Lalu apa urgensi buku dalam gerakan serikat pekerja? Ia penting, karena kita semua fana, tetapi cita-cita perjuangan akan abadi.

Bagaimana generasi yang lahir esok hari bisa mengetahui apa yang saat ini kita kerjakan, jika kita sendiri tidak meninggalkan jejak sama sekali? Itulah sebabnya, serikat harus mendokumentasikan sejarahnya sendiri.

Dalam kaitan dengan itu, saya selalu mendorong agar setiap PUK/PC menulis setidaknya satu buku terkait biografi organisasi. Untuk mengabadikan rekam jejak perjuangan.

Ada yang bertanya. Apakah buku-buku tentang gerakan buruh akan ada yang membaca? Secara umum, hasil survei UNESCO pada 2011 menunjukkan, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1.000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius.

Bahkan, Most Literate Nations in the World pada Maret 2016 merilis pemeringkatan literasi internasional yang menempatkan Indonesia berada di urutan ke-60 di antara total 61 negara. Sedangkan pada World Education Forum yang berada di bawah naungan PBB, Indonesia menempati posisi ke-69 dari 76 negara.

Kita akui saja, bahwa budaya membaca buku masyarakat Indonesia (tidak hanya buruh) masih rendah. Sudahlah rendah, akan bertambah parah jika buku-buku sejarah serikat pun tidak tersedia. Tidak ada pilihan lain, kita harus memulai.

* * *

Saat ini, bersama beberapa kawan, saya sedang menginisiasi ‘Buku Perdjoeangan’. Ini semacam divisi penulisan dan penerbitan buku-buku perjuangan, khususnya terkait serikat pekerja dan gerakan sosial yang lain.

Sebagai sesuatu yang baru, tentu banyak hal yang masih harus diperbaiki. Tetapi setidaknya kita sudah meletakkan satu pondasi yang kokoh untuk menopang budaya literasi di kalangan pekerja.

Apa yang kita lakukan menjadi bagian dari gerakan #bicaralahburuh. Untuk terus mendorong lahirnya narasi yang bisa menginspirasi Indonesia. Mempertegas sikap dan gagasan kita terhadap cita-cita perjuangan.

Catatan: Foto ‘BPJS Kesehatan Dalam Pusaran Kekuasaan’ ini merupakan buku putih KAJS, yang rencananya akan diluncurkan pada bulan depan.

Serang, 25 April 2019

KAHAR S. CAHYONO

Pos terkait