Purwakarta, KPonline-Ditengah derasnya investasi dan industrialisasi, jutaan pekerja Indonesia masih bekerja tanpa perlindungan serikat. Di ruang-ruang produksi, suara mereka terbungkam, hak mereka terabaikan.
Ketika sirine pabrik berbunyi tepat pukul 07.00 pagi, ratusan buruh di sebuah kawasan industri di Jawa Barat sudah berdiri berjajar menunggu absen. Tak ada senyum, tak ada canda. Hari itu sama seperti kemarin, dan seperti ratusan hari sebelumnya, yang panjang, melelahkan, dan tanpa kepastian.
Reni (33), seorang operator mesin tekstil yang pabriknya berada di pinggiran Kabupaten Purwakarta, telah bekerja selama sebelas tahun di perusahaan itu. Namun hingga kini, statusnya masih “pekerja kontrak outsourcing”. Upahnya bahkan tak beranjak sedikitpun di atas upah minimum kabupaten (UMK) dan tidak ada tunjangan pensiun. Lebih parah lagi, setiap kali muncul wacana pembentukan serikat pekerja, manajemen langsung mengintimidasi.
“Dulu pernah ada yang mengajak kami bentuk serikat, tapi langsung dipanggil HRD dan diberi surat peringatan. Setelah itu, tidak lama dia dipecat,” ungkap Reni, dengan nada pelan. “Sekarang tidak ada yang berani. Kami bekerja saja, diam-diam.”
#Serikat: Hak yang Dikebiri
Padahal, secara hukum, kebebasan berserikat dijamin oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. UU tersebut menyebutkan bahwa setiap pekerja berhak membentuk dan bergabung dalam serikat tanpa campur tangan pihak manapun, termasuk perusahaan.
Namun dilapangan, pelanggaran terhadap kebebasan berserikat kerap terjadi. Penolakan halus hingga intimidasi terbuka menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk menjaga kendali penuh atas tenaga kerjanya.
Fenomena union busting sangat marak, tapi sulit dibuktikan karena banyak dilakukan secara terselubung. Banyak pekerja yang tidak paham haknya, dan yang paham pun sering kali takut bersuara karena ancaman kehilangan pekerjaan.
#Akibat Nyata: Kerentanan Sistemik
Ketiadaan serikat pekerja tak hanya berdampak pada upah dan jam kerja, tapi juga pada kesehatan mental dan keselamatan kerja. Dalam banyak kasus, pekerja di perusahaan tanpa serikat mengaku tidak berani melapor jika terjadi pelanggaran keselamatan kerja, pelecehan, atau beban kerja berlebih.
Berdasarkan penelusuran, dari 1.200 kasus ketenagakerjaan yang ditangani sepanjang tahun 2024, sebanyak 72% berasal dari perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja aktif. Keluhan terbanyak adalah upah di bawah standar, PHK sepihak, jam kerja eksploitatif, dan tidak adanya ruang dialog antara pekerja dan manajemen.
Di sektor-sektor seperti garmen, elektronik, ritel, dan logistik, praktik-praktik semacam ini menjadi “normal baru”. Perusahaan lebih memilih menekan biaya tenaga kerja semaksimal mungkin demi menjaga margin keuntungan, terutama di tengah tekanan pasar global.
#Negara Belum Hadir Sepenuhnya
Meskipun pemerintah telah membentuk Dewan Pengupahan dan membuka kanal pengaduan ketenagakerjaan, efektivitasnya masih jauh dari harapan. Dan itu menandakan lemahnya pengawasan tenaga kerja menjadi akar dari banyak persoalan.
Jumlah pengawas tenaga kerja aktif saat ini tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi. Banyak pelanggaran yang tidak pernah ditindak karena keterbatasan sumber daya dan, jujur saja, ada juga tekanan politik dan ekonomi.
Terlebih, peran pemerintah daerah yang kerap bersikap pasif atau bahkan mendukung perusahaan besar yang dianggap mendatangkan investasi, meskipun melanggar hak pekerja.
#Harapan dari Akar Rumput
Meski kondisi terasa suram, beberapa inisiatif akar rumput mulai menunjukkan perlawanan. Di beberapa daerah, para pekerja membentuk kelompok informal yang bertujuan berbagi informasi dan mengedukasi sesama buruh tentang hak-haknya. Di era digital, media sosial menjadi sarana penting untuk menyuarakan ketidakadilan, meskipun tetap harus hati-hati terhadap risiko pembalasan dari perusahaan.
Di tengah arus industrialisasi dan transformasi ekonomi digital, para pekerja tetap menjadi roda penggerak utama. Namun tanpa perlindungan kolektif, suara mereka hilang dalam deru mesin dan tumpukan target produksi.
Serikat pekerja bukanlah momok, melainkan alat demokrasi industri. Tanpa itu, tempat kerja bukan hanya kehilangan keadilan, namun ia kehilangan kemanusiaannya.