Purwakarta, KPonline-Masih banyak buruh di Indonesia yang menghadapi intimidasi, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga penahanan gaji hanya karena ingin mendirikan atau bergabung dalam serikat pekerja. Padahal, hak untuk berserikat dijamin undang-undang dan pelanggarnya dapat dikenakan sanksi pidana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, khususnya Pasal 43, setiap orang, termasuk pengusaha, yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja dalam hal pembentukan atau aktivitas serikat buruh dapat dikenakan sanksi tegas.
Pelanggaran terhadap hak berserikat ini mencakup tindakan seperti PHK sepihak, mutasi kerja tanpa alasan yang jelas, menahan gaji, hingga berbagai bentuk intimidasi yang mengarah pada pembungkaman suara buruh. Hukumannya tidak main-main: pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun serta/atau denda antara Rp100 juta hingga Rp500 juta.
Serikat pekerja adalah instrumen penting untuk memperjuangkan hak-hak buruh secara kolektif. Menghalangi hak ini berarti menginjak-injak demokrasi di tempat kerja.
Ketentuan ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip perburuhan internasional yang dilindungi oleh ILO (International Labour Organization), di mana Indonesia menjadi salah satu negara anggotanya.
Sayangnya, masih ditemukan banyak kasus di lapangan dimana pengusaha menggunakan berbagai cara untuk melemahkan kekuatan kolektif buruh. Oleh karena itu, seruan kepada aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelanggaran ini semakin menguat.
Masyarakat pekerja pun diimbau untuk tidak takut berserikat, karena hak tersebut dilindungi konstitusi. Jika menghadapi tekanan atau intimidasi karena kegiatan serikat, pekerja disarankan untuk segera melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat atau menghubungi lembaga bantuan hukum buruh.
Ingat! “Buruh bukan mesin produksi semata. Mereka juga manusia yang punya hak bersuara dan berserikat”