SK UMSK Bekasi Tahun 2020 Menuai Kontroversi, Siapa Bertanggung Jawab?

Bekasi, KPonline – Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor : 561/Kep.574- Yanbangsos/2020 tentang Upah Minimum Sektoral Kabupaten Bekasi tahun 2020 yang dikeluarkan tanggal 29 September 2020 menuai banyak masalah terhadap pengurus serikat pekerja ketika sedang berunding kenaikan upah 2020.

“Ada yang seru pasca penetapan SK UMSK 2020 oleh Gubernur Jawa Barat M.Ridwan Kamil, diantaranya terkait masa berlaku SK tersebut,
tertulis dalam diktum 6 di jelaskan bahwa SK tersebut berlaku sejak di tandatangani,” jelas Ketua PUK SPL FSPMI PT. Alviny Indonesia Lukman kepada Koran Perdjoeangan, Senin (19/10).

Bacaan Lainnya

Ia menambahkan dalam diktum 3 dan 4 diserahkan pada serikat pekerja dalam suatu perjanjian bersama/sejak ada kesepakatan. “Artinya bagi mereka yang punya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang biasanya tercantum bahwa kenaikan upah berlaku satu tahun sekali dan di mulai pada bulan Januari, tentu ini yang jadi pegangan pengurus serikat pekerja,” tambahnya.

Namun bagi pengusaha yang nakal tentunya berpegang pada diktum 6 SK UMSK tersebut, jadi menurutnya bagi serikat pekerja jika pengusaha mengambil langkah itu (menggunakan dasar diktum 6 SK UMSK 2020) maka jawabannya hanya satu yaitu mogok kerja.

Jika seluruh PUK atau unit kerja di tingkat perusahaan melakukan demikian, maka bisa menjadi momen besar guna menunjukkan bahwa SK UMSK 2020 yang ditandatangani oleh Gubernur Jawa Barat tersebut sebenarnya bermasalah.

Pengurus PC SPL FSPMI Bekasi M. Indrayana pun angkat bicara. Indra menegaskan terkait rapelan banyak yang tidak bersepakat antara pengurus serikat dengan menejemen.

“Bagi PUK yang selalu menjunjung tinggi hakekat hubungan industrial maka jawabannya adalah ikhlas menerima, padahal bicara hubungan industrial maka tidak akan ada kata harmonis jika kedua belah pihak, ada salah satu pihak yang abai dengan hak dan kewajibannya masing-masing,” ungkap Indrayana.

Namun masih ada langkah yang bisa dilakukan tidak hanya mogok, karena pilihan lain tersedia yaitu mediasi. Momen yang sama pun akan tercipta jika seluruh PUK lanjut ke mediasi secara bersamaan.

“Jangan pernah lepaskan hak pekerja/anggota meski itu hanya secuil permen,” pungkas Indrayana.

Siapa yang akan diuntungkan dengan aturan seperti ini? Jawabannya pasti adalah pengusaha. Pengusaha akan mencari celah sekecil apapun untuk tidak menaikan upah buruh. Jika sudah begini, siapa yang akan bertanggung jawab?

(Yanto)

Pos terkait