Seputar Revisi UU Ketenagakerjaan: Apa Jadinya Jika UMK Tidak Lagi Ditetapkan Gubernur?

Perjuangan buruh menuntut agar PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dihapus. Hal ini agar upah buruh menjadi layak.

Jakarta, KPonline – Wacana untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan semakin menguat. Apalagi hal ini terus disuarakan oleh kalangan pengusaha. Presiden Jokowi pun sudah memanggil beberapa menteri untuk mendiskusikan terkait dengan kemungkinan untuk melakukan revisi terhadap undang-undang yang sudah berlaku sejak tahun 2003 itu.

Selain mengenai pesangon, salah satu yang diminta pengusaha untuk dilakukan revisi adalah mengenai upah minimum.

Bacaan Lainnya

Dilansir cnbcindonesia.com (4/7/2019), Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Bob Azzam mengritik mekanisme penentuan upah saat ini yang lebih banyak ditentukan oleh pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, maupun Walikota) daripada pengusaha dan serikat buruhnya sendiri.

“Harapan kita diberikan fleksibilitas untuk industri padat karya. Dan yang lebih penting adalah kembalikan otoritas penentuan upah ke mekanisme bipartit, antara perusahaan dan serikat pekerja. Jadi jangan tripartit, kan mereka [pemda] tidak tahu kondisi perusahaan masing-masing,” ujar Bob usai diskusi, Rabu (3/7/2019).

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi yang menyebut Undang-Undang Ketenagakerjaan terlalu kaku. Dia mencontohkan aturan soal gaji yang ditetapkan kepala daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota).

TANPA TRIPARTIT, KENAIKAN GAJI AKAN SULIT

Satu hal yang harus kita pahami, fungsi upah minimum adalah jaring pengaman. Ia adalah upah terendah yang wajib dibayarkan oleh perusahaan.

Sebagaimana fungsinya, jaring pengaman, maka harus ada keterlibatan tripartit yang meliputi pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Keberadaan pemerintah penting, untuk memastikan keadilan. Sehingga pengusaha tidak bertindak arogan, misalnya dengan memberikan kenaikan upah yang rendah.

Namun demikian, keberadaan tripartit yang dimaksud tidak juga seperti yang saat ini berlaku. Dimana penetapan upah minimum “dibajak” oleh pemerintah melalui PP 78/2015.

Jika kenaikan upah hanya diserahkan pada pengusaha dan pekerja (bipartit), saya khawatir tidak akan ada lagi kenaikan upah. Saat ini pun, di banyak tempat masih ditemukan buruh yang dibayar di bawah UMK. Diantara mereka bahkan ada yang sudah beberapa tahun upahnya tidak mengalami kenaikan.

Kita tidak bisa mengabaikan fakta, bahwa relasi antara pekerja dan pengusaha tidak pernah sama. Apalagi di perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Jangankan berunding untuk kenaikan upah, bisa duduk satu meja dengan pihak pengusaha pun merupakan satu kesempatan yang langka.

Karena itu, solusi yang terbaik adalah cabut PP 78/2015 dan kembalikan penetapan upah minimum pada mekanisme tripartit. Tidak melalui formula inflansi plus pertumbuhan ekonomi, yang angkanya ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

Alih-alih merubah dasar hukum penetapan uaph minimum menjadi bipartit, yang seharusnya dilakukan adalah memperbaharui item Kebutuhan Hidup Layak yang menjadi dasar upah minimum. Dimana saat ini berjumlah 60 item, kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan hingga 84 item. Sebab masih banyak item yang belum masuk dalam formula KHL, sedangkan hal itu dibutuhkan oleh dalam kondisi yang sekarang.

PENGUSAHA NILAI UPAH MINIMUM SEKTORAL JADI KENDALA

Selain mempermasalahkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak pengusaha juga mempermasalahkan keberadaan upah minimum sektoral.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani. Seharusnya, kata Shinta, pemerintah hanya mengatur upah minimum secara rata-rata saja tanpa menjurus ke masing-masing sektor.

“Upah sektoral itu jadi kendala, harusnya ada upah minimum selanjutnya silahkan bipartit saja, antara pemberi kerja dengan penerima kerja,” jelas Shinta.

Tentu serikat buruh akan menolak jika upah minimum sektoral dihilangkan. Upah minimum terbagi menjadi dua. Berdasarkan regional (wilayah) dan jenis industri (sektoral). Keduanya mempuyai fungsi yang sama, sebagai jaring pengaman.

Menghilangkan upah minimum sektoral saja dengan mengoyak jaring pengaman dan membuat daya beli buruh merosot jatuh. Alih-alih menghilangkan UMSK, yang seharusnya dilakukan adalah memperluas cakupan jenis industri yang berhak mendapatkan UMSK yang nilainya di atas upah minimum.

Kesalahan terbesar, untuk tidak menyebut dosa besar, adalah penetapan upah padat karya yang nilainya di bawah upah minimum. Tidak boleh ada upah di bawah upah minimum, karena hal itu adalah tindak pidana kejahatan. Karena itu kita hanya mengenal satu konsep upah minimum sektoral, yaitu nilainya di atas upah minimum.

Dengan adanya upah sektoral yang diperluas, maka bisa dipastikan kesejahteraan buruh akan meningkat. Sulit diterima akal sehat, jika menghilangkan upah minimum sektoral (yang artinya kenaikan upah menjadi lebih rendah) justru akan berdampak baik bagi buruh.

Pos terkait