Sepasang Sendal Jepit

Bogor, KPonline, – “Daa…”
Aku melambaikan tangan padanya. Dia pun menganggukan kepalanya yang tertutup helm, lalu kemudian tersenyum. Aku menunggu ia pergi, meninggalkanku, berbelok ke kanan hingga suara bising knalpot motornya menghilang ditelan malam. Baru aku memasuki rumahku. Begitulah kebiasaanku. Dan sering berulang-ulang.

Biasanya sebelum pergi ia menepuk pelan dahiku terlebih dahulu, dan memang itu kebiasaannya. Tapi hari ini dia melewatkannya.

Aku masuk ke kamar, menjatuhkan badan ke pembaringan. Ahh…Aku sudah merasa rindu lagi padanya. Ini juga termasuk gundah gulana yang menerpaku, tiap kali berpisah dengannya. Aku juga tidak mengerti. Belum selesai dentang jam hingga 1 menit dia pergi, aku sudah rindu lagi.

Aku memang merasa tidak bisa jauh dari dia. Sayangnya dia punya segudang kegiatan dan kesibukan. Sekarang hanya tinggal menunggu kabar bahwa ia sudah sampai ketempat tujuannya. Untuk menghalau kantuk dan menunggu kabar darinya, kubuka akun Facebook atau Instagram miliknya, hanya sekedar mengisi kekosongan sampai aku menerima pesan darinya melalui Whatsapp.

“Gue udah sampe nih”
Itu pesan singkat yang kuterima begitu ia sampai dirumahnya. Familiar sekali bunyi pesan itu. Tak pernah berubah. “Alhamdulillah, met rehat ya” balasku singkat saja.
Dan kami tenggelam dalam malam kami masing-masing. Dikamar kami masing-masing. Dirumah kami, masing-masing.

Waktu pun berlalu, tak terasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah perasaan yang selama ini kurasakan. Sebuah rasa yang sering disebut-sebut dengan nama cinta. Tapi bagiku, cinta itu juga sebuah luka yang menganga, lebar terbuka dan belum pernah ada seseorang yang mampu mengobatinya, untuk saat ini.

Senja berganti dengan hening malam yang sunyi. Lalu bergeser dengan cerahnya mentari pagi. Selalu begitu, berulang-ulang dan berulang lagi. Dan hati ini pun masih saja kosong, tanpa penghuni. Yang tertinggal hanyalah luka yang ditinggalkannya.

Puluhan purnama berlalu, dan tiba-tiba saja dirinya muncul dihadapanku. Tanpa merasa bersalah dan berdosa dia menyapaku. “Hai. Apa kabar? Udah lama banget yaa nggak ketemu? Sehat kan?” pertanyaan beruntun yang keluar dari bibirnya tak sanggup untuk kujawab. Hanya termangu dan terdiam untuk sesaat. Karena hati, pikiran dan perasaanku serasa ditarik-tarik oleh kell masa lalu. Ditarik, dihardik dan dicekik.
Aku mulai terpekik.

Plak ! Tanpa sadar, refleks dan gemetar, tanganku sudah mendarat di pipinya yang mulai tumbuh rambut-rambut kecil. “Aww. Apa-apaan sih lu?” Dia mulai mengelus-elus pipinya yang mulai memerah akibat tamparan tanganku. “Kenapa? Sakit? Lebih sakit mana, dibandingkan sama lu yang udah ninggalin gue?” amarah dan emosi jiwa mulai menyeruak keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam.

“Kenapa? Bukannya kita udah komitmen? Gue sayang sama lu, tapi kan lu yang ngomong ke gue. Kita nggak bakalan pernah menyatu. Disini, kita adalah sepasang kekasih. Tapi dirumah, kita, elu, gue tuh pasangan hidup dari pasangan kita. Apa lu udah lupa?”

Sedetik kemudian, aku yang kemudian menangis tersedu-sedu. Mataku memerah, linangan air mata mengucur deras membasahi pipi dan melunturkan riasan wajah yang seadanya. Kupeluk erat badannya tegap, seakan-akan tak akan pernah kulepaskan lagi.

“Maafin gue. Jangan tinggalin gue lagi. Gue mohon” isak tangis memecah keramaian yang sedari memandangi dan menyaksikan tingkah laku konyol kami berdua.

Laksana sepasang sendal jepit yang kukenakan saat ini, seperti itulah nasib tragis kisah cintaku. Kami akan selalu berjalan beriringan, bergerak bersama-sama ke arah dan tujuan yang sama. Tapi sayangnya, kami tak kan pernah menyatu, apalagi menjadi satu. (Vina/RDW)