Seekor Kambing Qurban Untuk Anakku

Bogor, KPonline – Minggu, 11 Agustus 2019. Gema takbir bertalu-talu di seantero negeri, bersahut-sahutan laksana gelombang lautan yang riuh rendah. Jalanan kampung yang biasanya sepi dengan lalu lalang kendaraan bermotor, malam ini berubah laksana sungai cahaya lampu yang bermandikan karbon dioksida. Penuh sesak dengan ratusan bahkan mungkin ribuan manusia yang ingin mencari keramaian. Pergi ke pasar hanya untuk sekedar mencari panganan atau secuil hiburan. Maklum saja, pendapatan warga kampung yang mayoritas buruh pabrik dan berada dipinggiran Ibukota ini hanya sebatas UMK. Kalaupun ada yang beruntung mendapatkan UMSK, hanyalah satu atau dua pabrik, itu pun bagi mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar multi-nasional.

Malang tak berujung dirasakan Yanto, yang sedari Ba’da Isya’ masih saja duduk termenung dipinggir jendela ruang tamunya yang beralaskan tikar pandan butut. Gordyn dari kain batik lusuh, ditambah dengan suguhan kopi yang sudah mulai dingin, menambah kesyahduan Yanto dalam perenungan. Menatap keluar jendela yang nampak hanya tembok angkuh rumah tetangganya yang senada dan seirama dengan kesombongannya. Dari dalam kamar yang berukuran 3×3 meter, sayup-sayup terdengar alunan merdu suara Reva yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Disampingnya, Jumisih hanya diam terpaku, memperhatikan Reva sambil sesekali menggoyang-goyangkan kipas bambu yang patah diujungnya. Revi sudah lelap tertidur, nampak nyenyak pun meski ruang kamar tidur terasa lembab bercampur gerah.

Bacaan Lainnya

Sesekali Yanto terlihat menghisap rokok kretek yang ada di tangan kiri, diantara jari telunjuk dan jari tengah. Pikirannya masih bergelayut diantara kesadaran dan rasa kesal. Jiwanya meraung-raung ingin berteriak, meneriakan sambil menumpahkan kekecewaan. Menyesali tak akan mungkin mampu mengubah nasib yang menyelimuti hari-harinya sebagai buruh pabrik pengolahan sampah plastik. Yang ia mampu lakukan hanyalah mengumpat dalam hati. “Kenapa Tuhan tidak mentakdirkan diriku sebagai orang kaya?” gumam dirinya, seakan-akan sedang bercakap-cakap dengan jiwanya yang miskin. Ingin sekali Yanto berqurban setiap Idul Adha, tapi apa daya, upahnya yang rendah dan tiada tunjangan apapun, menambah beban cita-cita dan keinginannya. Pernah suatu waktu, Yanto dan Jumisih berusaha menabung untuk membeli kambing, agar bisa berqurban seperti kerabat dan tetangga dekat. Tapi kenyataan hidup berkata lain. Harga-harga kebutuhan pokok melambung, inflasi tak terbendung, dan para pemangku kebijakan hanya bisa berbicara dan bersenandung, meskipun terdengar tak “nyambung” dan nampak bingung.

Sepulang sholat Idul Adha di halaman mesjid sebelah Balai Desa, Yanto dan beberapa orang tetangga turut membantu proses penyembelihan hewan-hewan qurban. 17 ekor sapi dan 54 ekor kambing telah berjejer, seakan-akan sedang menunggu ajal yang akan menjemput mereka satu persatu. Semerbak harum kotoran sapi dan kambing, menambah kekhidmatan hari raya Idul Adha di setiap tahunnya. Begitu khas dan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Yanto hanya mampu menatap jejeran hewan-hewan qurban tersebut dan berharap suatu hari nanti, ada nama dirinya serta nama-nama anggota keluarganya diantara nama orang-orang yang berqurban.

Revo yang sudah mulai beranjak remaja pun turut serta dalam prosesi penyembelihan hewan-hewan qurban. “Ayo Nak, biar kamu belajar, gimana caranya menyembelih hewan qurban” ujar Yanto kepada anak lelaki satu-satunya. “Iya Yah” jawab Revo singkat saja. Menyatu dengan warga sekitar, Yanto dan Revo mencari-cari apa yang bisa dilakukan, apapun yang bisa dibantu. Dan tiba-tiba, Revo setengah berbisik ditelinga Yanto. “Yah, aku ingin berqurban kambing tahun depan. Berapa harga seekor kambing, Yah? tanya Revo, dengan sedikit rasa khawatir ia bertanya. Revo sudah memahami kondisi keuangan keluarganya, jangankan berqurban, untuk makan sehari-hari dirumah pun, orang tuanya sudah pontang-panting membanting tulang.

Yanto terdiam sesaat, hatinya tersayat-sayat dengan keinginan anak lelakinya tersebut. Bukan karena Yanto tidak ingin berqurban, akan tetapi keadaanlah yang membuatnya tak mampu untuk membeli hewan qurban. Upahnya yang rendah, harga-harga kebutuhan hidup yang terus melambung, hingga harga kontrakan yang setiap tahun terus naik. Dan segudang permasalahan dipabrik tempatnya bekerja, seakan-akan menggumpal di otaknya, ingin meledak tapi dengan keterpaksaan harus ia tahan, dan Yanto memang harus bertahan dengan keadaan. Yanto hanya berdiam diri, meratapi nasib dan keadaan dirinya dan keluarganya.

“Iya Nak. Insya Allah tahun depan kita berqurban. Insya Allah” Yanto menjawab pelan dan lirih. Dan tersembul setitik air mata diujung bola matanya. Tekadnya membulat, dengan sepenuh hati berkata kepada jiwanya yang miskin dan papa. “Tahun depan, aku akan berqurban. Aku harus berqurban. Demi ajaran agamaku, demi keluargaku, dan demi anak-anak dan istriku. Tahun depan, aku akan berqurban. Insya Alllah”. Dan Yanto pun akhirnya hanyut dalam keriuhan dan keramaian. Kembali membantu prosesi pemotongan hewan qurban meski pikirannya terbang melayang, berkhayal dan berimajinasi kalau kambing yang sedang disembelihnya diatas namakan dirinya, anak-anak dan istrinya.

Dalam lubuk hatinya, jiwanya meronta-ronta meminta dibebaskan dari belenggu kemiskinan dan keterpurukan. “Seandainya Tuhan mengizinkan, ingin kukorbankan perasaan ini. Dan jika perlu, nyawa ini pun ikhlas kuberikan. Asal anak-anak dan istriku bahagia.” jerit hatinya. (RDW)

Pos terkait