Satu Peristiwa (Bentrokan) di Check Point 28

Peserta aksi sedang mempersiapkan untuk ibadah di Check Point 28, tanggal 19 Agustus 2017.

Jakarta, KPonline – Dalam laporan yang diterbitkan Lokataru – Law and Human Right Office berjudul “DIBERANGUS DAN DIKORBANKAN:” LAPORAN MENGENAI KONDISI HAK ASASI MANUSIA RIBUAN PEKERJA PT. FREEPORT INDONESIA YANG MELAKUKAN PEMOGOKAN, diceritakan situasi bentrokan yang terjadi Check Point (CP) 28 pada tanggal 19 Agustus 2017. Cerita ini menarik untuk diingat kembali, sebagai bagian dari rangkaian panjang buruh Freeport untuk mendapatkan hak-haknya kembali.

Dalam aksi mogok kerja diikuti setidaknya 2.000 karyawan, termasuk terdapat anggota keluarga Karyawan, di lokasi Check Point (CP) 28, kemudian dilanjutkan di terminal bus Gorong gorong dan terakhir di Petrosea. Aksi dimulai dari sekitar jam 2 hingga jam 5 sore di CP 28, sementara di Gorong gorong pada jam 6.30 dan di Petrosea jam 8 malam.

Bacaan Lainnya

Adapun tuntutan dari aksi tersebut mendesak perusahaan duduk dialog dengan karyawan untuk menyelesaikan persoalan kebijakan merumahkan karyawan.

Saat di CP 28 terlihat ada Barakuda milik kepolisian dan juga watercanon, polisi dengan rotan, penggunaan gas air mata dalam bungkus botol. Pasukan terdiri dari Brimob Polri dan pasukan TNI yang berjumlah ratusan. Serta banyak intel yang berbaur dengan pendemo.

Di lokasi CP 28 sebagai bagian dari aksi karyawan melakukan kegiatan ibadah seperti sholat isya, dzikir, dan doa nasrani. Saat sedang dzikir kumpulan karyawan tersebut di datangi oleh pasukan gabungan diminta untuk membubarkan diri.

Bahkan saat sedang ibadah, mereka diserang, dipukul, dan imam sholat ditendang oleh pasukan keamanan. Diduga penyerangan dan brutalitas langsung dipimpin oleh kapolres Mimika, bernama Viktor Machboen, turut hadir komandan kodim 1710 Letkol Infantri Indarto

Penggunaan water canon dan gas air mata serta rotan, kulit mati, dan tangan kosong aparat digunankan untuk membubarkan karyawan yang sedang beraksi dan beribadah. Massa terhambur tunggang langgang. Salah seorang korban biasa dipanggil Pak Haji terkena pantulan gas air mata, terkena peluru karet ditangannya, dan serpihan peluru di telapak tangan kiri, dan mengakibatkan jari jari di tangan kirinya tidak bisa bergerak normal. Mengalami kecacatan otot.

Sementara Ibu Ansye pada saat masa dibubarkan, dikejar sampai ke daerah lokasi gardu yang berjarak kurang lebih 200 M dari CP 28. Ibu Ansye ketika sudah diatas motor didorong hingga terjatuh, ketika sudah berdiri ia dipukul lagi dari belakang di bagian kepala.

Banyak saksi melihat Merino, salah seorang karyawan yang ikut beraksi di CP 28, ditangkap, dipukul, dan bahkan Merino mendapatkan perlakuan buruk (rambut gimbalnya dipotong) oleh kasat reskrim.

Peristiwa brutal di atas berlangsung hampir 1 jam. Selain massa berlarian (chaos) banyak dari mereka akhirnya bergerak ke terminal Goronggorong. Terminal ini adalah terminal yang dibangun dan dimiliki oleh PT Freeport Indonesia sebagai tempat keberangkatan karyawan naik ke Tembagapura/lokasi tambang.

Tidak didapati informasi, siapa yang menyuruh atau mengajak massa pindah aksi pendudukannya ke Goronggorong. Di lokasi tersebut terjadi pembakaran mobil dan fasilitas di Gorong-gorong (baca: Milik Perusahaan). Dari beberapa kesaksian peserta aksi dan korban, secara psikologis massa (peserta mogok kerja) dalam keadaan marah dan kecewa terhadap Perusahaan dan Polisi yang tidak sensitif dengan kondisi karyawan. Dari Gorong-gorong, massa bergerak ke Petrosea.

Di lokasi Petrosea, ada fasilitas yang dibakar, namun sebelum pembakaran tersebut terjadi saling lempar antara massa dengan karyawan Petrosea, selama kurang lebih 5 menit. Lalu aparat keamanan datang membubarkan dan menangkapi kurang lebih 14 orang.

Dari peristiwa diatas, sejumlah orang ditangkap, tercatat 19 orang dibawa ke Polres Mimika (kantor lama yang terletak di tengah kota Timika). Di Mimika memiliki 2 kantor Polres, kantor lama menggunakan bekas gedung DPRD Mimika, dan kantor baru yang berjarak 20-30 menit dari kota Timika.

Nuryadin, ditangkap di rumah pada 20 Agustus 2017 di jalan Kartini Jalur 3, sekitar jam 00.30 oleh polisi yang datang dengan dua mobil, sekitar 10 orang. Penangkapan cukup dramatis, 4 orang polisi, termasuk Kasat Reskrim Dion, tanpa surat penangkapan. Nur sempat menolak karena kondisi istri sedang hamil tua, menunggu kelahiran anak. Akan tetapi Polisi memaksa dan akhirnya Nur harus ikut.

Sesampai di Polres Mimika, Nur sudah melihat ada 3 orang lainnya, salah seorangnya adalah Fari yang bisa dikenal oleh Nur. Ketiganya ditempatkan di sebuah ruang, tanpa ada tindakan apapun, dikunci dari luar dan tidak bisa buang air kecil. Baru pada sekitar jam 2 pagi, ada polisi datang dan mengambil foto ketiganya, dan memindahkan mereka ke ruang lain.

Winarno dan San Basri, tidak ikut dalam aksi sejak awal, baru pada jam 20.30, berangkat dengan motor dari rumah Sudiro, pimpinan PUK SPSI PT FI yang dikriminalkan. Keduanya berhenti sebelum tiba, kurang lebih 300 meter sebelum CP 28, karena melihat massa sudah berhamburan.

Namun sesaat baru berhenti keduanya ditangkap oleh seorang anggota Polisi, kemudian salah satu polisi lainnya menunjuk Win sambil berkata “ini yang tadi memimpin doa (di CP 28)”, kemudian tas milik Win langsung digeledah. Polisi tersebut mengambil helm dan memukulkan ke kepala San sampai setidaknya 3 kali (yang bisa diingat oleh San, namun diyakini melebihi 3 kali). Sementara Win dipukuli ramai-ramai oleh Polisi dengan tangan kosong, kira-kira sebanyak 3-4 orang, sambil salah satu polisi teriak “kalau berani jangan keroyokan”. Saat keduanya dipukuli, kondisi motor sudah tersungkur dan tidak dalam kontrol keduanya.

Win kemudian ditarik oleh salah satu Polisi, sementara ada polisi juga sampaikan ke San untuk pulang. Namun San tidak mau pulang, dan akhirnya disuruh naik mobil (bukan mobil polisi). Setelah berjalan beberapa meter, San diminta pindah ke mobil pick up milik polisi sampai dua kali. Terakhir dipindah saat dekat Gardu PLN dimana pada mobil tersebut sudah ada banyak karyawan yang ditangkap oleh Polisi, setidaknya menurut Win ada 7 orang di mobil tersebut. Salah satu diantara mereka dalam keadaan berdarah, akibat luka di dahi.

Mereka semua dibawa ke Polres Mimika dan ditempatkan di Aula Polres Mimika. Saat mereka tiba disambut oleh Kapolres Mimika. Mereka di data, nama, nomor telepon dan alamat. Di dalam Aula diperkirakan sebanyak 13 orang. Di dalam Aula mereka disuruh untuk duduk jongkok. Salah karyawan yang mengalami luka di dahi, malam itu tidak mendapati pengobatan dari pihak Polisi. Satu persatu 13 orang ini dipanggil ke luar Aula di wawancarai, sampai keesokan hari malam hari.

Saat di Aula, Kapolres mendatangi mereka dan menanyakan “siapa yang menyuruh mereka melakukan aksi di CP 28?”. Karena tidak ada yang menjawab, Kapolres melanjutkan “tanggung sendiri akibatnya”. Saat itu, Kapolres menunjukkan foto dua orang, yaitu Steven dan Jhon, keduanya adalah orang yang dekat dengan Aser Gobai, sambil menanyakan apakah mereka yang ditangkap dan di Aula mengenal kedua orang tersebut.

Jekson, ditangkap di Petrosea. Sebelumnya Jekson berangkat dari rumah dengan motor. Tiba di Petrosea saat sudah terjadi bentrokan. Sesaat tiba dan menghentikan motornya, Jekson langusng mendapatkan tendangan dari arah yang tidak terlihat, mengakibatkan dirinya masuk parit air. Beruntung ia kemudian ditolong oleh salah seorang Polisi lalu diajak naik ke mobil. Ternyata dia belakangan baru mengetahui bahwa dia ditangkap dan dibawa ke kantor Polisi. Saat di Mobil Jekson mendapati satu orang sudah ada dalam mobil, ditangkap Polisi. Keduanya langsung dibawa ke Polres Mimika. Semua yang ditangkap malam itu, handphone mereka diambil oleh Polisi, dan dikembalikan saat keesokannya saat mereka dilepas pulang.

Matius Patinggi, ditangkap di CP 28, ketika sedang mencuci mata yang perih akibat serangan gas air mata dari Polisi. Matius ditangkap oleh seorang Polisi lalu dipukuli oleh anggota-anggota Polisi lainnya, disuruh tiarap, lalu ditendang saat tiarap dan sempat diinjak oleh, diduga, seorang Polwan. Kemudian Matius dibawa masuk dalam mobil yang sama dengan Win dkk., yang kemudian mereka semua dibawa ke Polres Mimika.

Willem R Yoku (35 tahun), merupakan salah seorang anggota tim keamanan saat aksi 19 Agustus 2017 di CP 28. Diperkirakan anggota tim keamanan berjumlah 100 orang. Sebagai tim keamanan memiliki tugas menjaga peserta untuk tidak terpancing pada tindakan-tindakan anarkis dan tindak mengganggu aktivitas masyarakat.

Menurut Willem, peristiwa 19 Agustus adalah kekerasan yang di sulut oleh Polisi yang hendak membubarkan peserta aksi. Awalnya tembakan terdengar dari daerah atas di jalan menuju Tembagapura, kira-kira berjarak 1 km. Sampai saat ini tidak ada yang tahu sebetulnya ada peristiwa di atas tersebut.

Saat aksi, Willem berada dekat dari pos di tikungan CP 28 arah Bandara. Willem melihat Polisi meminta massa yang ada untuk bubar, akan tetapi ditolak oleh Ibu-ibu yang ikut aksi tersebut. Dari tempat itu, ketika sudah pecah kekerasan oleh Polisi, terlihat Arnon Merino ditarik oleh 3 orang Polisi dan Arnold menolak ikut.

Arnon sempat mengatakan “kan kita disuruh pulang, tapi kenapa ditarik?” Willem melanjutkan ke Polisi, “sudah biarkan dia [Arnon] pulang”.

Kemudian justru Willem yang ditarik Polisi, sambil bertanya ke Willem, “kamu juga karyawan ya?” Dijawab “iya”. Kemudian Polisi mengatakan “kalau begitu kamu juga ikut”, hingga Yoku pun akhirnya dibawa ke atas mobil Polisi bersama dengan Arnold. Dalam perjalanan dengan mobil Polisi, sempat berhenti beberapa kali untuk mengangkut karyawan lain yang ditangkap Polisi. Beberapa diantara mereka dalam keadaan berdarah, seperti Abdul Kadir yang mengalami hidung patah dan mata bengkak akibat kekerasan Polisi. Beruntung bagi Willem bisa duduk di depan karena mengenal dengan anggota Polisi Donal Mala. Pada akhirnya jumlah karyawan di mobil tersebut berjumlah sekitar 11 orang. Semuanya dibawa ke Aula Polres Mimika.

Malam itu, dua orang yang terluka akibat kekerasan Polisi, Kadir dan Arnon, tidak mendapatkan pengobatan. Sebaliknya mereka disuruh duduk jongkok jinjit. Kadir bahkan sempat terjatuh karena pusing dan malah ditendang oleh Polisi yang menjaga mereka.

Kapolres sempat mendatangi Willem, sebagaimana yang lainnya juga didatangi, kemudian ditanyakan apakah kamu mengenal dua orang yang ada dalam handphone yang dipegang Kapolres, dengan cara sambil hand phone itu menampar ke arah muka dan mulut Willem.

Kemudian Willem disuruh berdiri hanya dengan satu kaki oleh Kapolres, lalu ditanya “siapa yang suruh kalian kacau-kacau dan pemalangan?” dijawab oleh Willem, itu semua mau-nya anggota.

Kapolres melanjutkan “kalian semua tidak menghargai manajemen [PT FI], disuruh kerja, digaji. Yoku berdiam saja. Kemudian terjadi percakapan menarik antara Willem dengan Kapolres, yang pada intinya Kapolres meminta Willem memukul Sudiro, dan jika dilakukan Willem dan lainnya akan dibebaskan.

Pos terkait