Saat Maaf Lebih Kuat dari Amarah: Kisah Bijak Seorang Pemimpin

Saat Maaf Lebih Kuat dari Amarah: Kisah Bijak Seorang Pemimpin

Di tengah riuh dinamika organisasi serikat pekerja, ada satu sosok yang diam-diam menjadi teladan dalam kesabaran dan kebijaksanaan. Sebut saja namanya Jajang, dan ia adalah seorang pemimpin senior media di suatu organisasi serikat pekerja yang meski tak lagi aktif bekerja, Jajang masih aktif dalam menjalani tugas tugas organisasi. Mereka menyebutnya: “Orang Bijak dari Media.” Bukan karena gelar atau kepintaran, tapi karena hatinya yang lapang, seluas langit.

Suatu pagi, Jajang datang ke kantor organisasi untuk menghadiri rapat rutin (Ratin). Rapat berjalan seperti biasa. Namun usai pertemuan itu, ia sempat menunggu janji dari seorang anggota yang dipimpinnya bernama Ucup, yang sebelumnya sempat meminjam uang hasil penjualan baju organisasi. Uang itu dipakai untuk pengobatan ibunya yang tengah sakit, dan Ucup berjanji akan mengembalikannya.

Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Janji itu tak kunjung ditepati. Jajang menunggu dalam diam.

“Kalau saya yang dipermainkan begitu, sudah saya datangi rumahnya!” celetuk Ujang, rekan satu tim di Media.

Tapi Jajang hanya tersenyum, tanpa nada kecewa. “Kalau kita marah saat dikecewakan, kita hanya menambah satu masalah baru. Saya tidak mau kehilangan kedamaian karena kecewa.”

Sikap tenangnya bukan tanpa dasar. Ia tahu, setiap orang sedang berjuang dalam masalah yang tak terlihat. Dan benar saja, pernah dalam beberapa waktu kemudian, Ucup datang dengan wajah pucat ke rumah Jajang. Ia membawa penyesalan dan permintaan maaf.

“Saya sudah siap dimarahi, Bang,” katanya pelan.

Tapi Jajang hanya menepuk bahunya dan berkata, “Kemarahan tidak bisa mengobati luka siapa pun. Tapi maaf bisa membuka pintu pengertian. Kau sudah cukup menderita, kawan.”

Kisah itu menyebar dari mulut ke mulut. Bukan karena Jajang menuntut atau berteriak, tapi justru karena ia diam. Di zaman yang serba cepat tersinggung dan mudah tersulut emosi, Santoso menjadi oase, memberi keteduhan di tengah bara konflik.

“Kadang orang mengira diam itu lemah,” katanya suatu hari, “padahal diam bisa jadi tanda hati yang sangat kuat.”

Banyak yang mungkin sudah lupa soal baju, uang, dan janji. Tapi mereka tak pernah lupa bagaimana Jajang memilih jalan yang lebih tenang, dan lebih bijak. Ia mungkin tak lagi menjadi karyawan secara formal, tapi teladannya terus menuntun dari kejauhan. Dalam organisasi, ia bukan sekadar nama, ia menjadi pelajaran hidup.