Ketika Anak Titipan Lebih Dulu Duduk di Kursi Kerja

Ketika Anak Titipan Lebih Dulu Duduk di Kursi Kerja

Purwakarta, KPonline — Di tengah kompetisi dunia kerja yang makin ketat, ironi sosial kembali terkuak. Banyak lulusan sekolah mulai dari sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK) hingga perguruan tinggi, dengan predikat cumlaude, justru tertinggal dalam antrean kesempatan kerja. Bukan karena kurang kompeten, melainkan karena kalah oleh “anak titipan”.

Fenomena ini semakin terasa di sejumlah pabrik dan instansi, baik swasta maupun pemerintahan. Dalam wawancara yang dilakukan tim redaksi dengan beberapa pelamar muda, keluhan soal tidak transparannya rekrutmen dan adanya praktik “orang dalam” menjadi sorotan utama.

“Saya sudah ikut seleksi tiga kali. Tes saya lolos, wawancara juga bagus, tapi nama saya tetap tidak keluar. Padahal, beberapa yang masuk tidak pernah terlihat ikut tahapan rekrutmen. Kata orang dalam, mereka anak titipan pejabat,” ujar Udin, lulusan sekolah menengah kejuruan negeri di Purwakarta, yang telah dua tahun menganggur.

Sementara itu, seorang mantan HRD dari sebuah perusahaan BUMN yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, praktik titipan masih menjadi rahasia umum. “Ada surat-surat rekomendasi tidak resmi yang masuk dari atasan atau pemegang jabatan publik. Kami kadang dipaksa menyesuaikan kuota, bukan berdasar hasil tes,” katanya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2025 mencatat, tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas mencapai 7,18 persen, tertinggi dibandingkan lulusan SMK dan SMA. Fenomena ini memperkuat kekhawatiran bahwa meritokrasi dengan sistem berdasarkan prestasi kian terkikis.

Banyak pakar ketenagakerjaan menyayangkan tren ini. “Kondisi ini menurunkan semangat juang generasi muda dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem. Jika tidak ditangani, dampaknya bukan hanya pada individu, tapi juga pada kualitas SDM bangsa secara keseluruhan.

Dan kalangan masyarakat pun menyerukan agar proses rekrutmen diperbaiki, diperjelas, dan diawasi oleh lembaga independen.

Hingga hari ini, sarjana muda seperti Indah hanya bisa berharap. “Saya tidak ingin kerja karena belas kasihan. Saya hanya ingin sistem ini adil. Biar kami yang benar-benar siap, juga punya tempat.”

Fenomena anak titipan bukan sekadar cerita lama yang terus berulang, tapi menjadi bukti nyata bahwa integritas dan keadilan dalam dunia kerja masih butuh pembenahan serius.