Purwakarta, KPonline — Dalam riuhnya peluh, amarah, dan teriakan tuntutan yang menggema di depan gerbang pabrik, sejarah sedang ditulis oleh tangan-tangan buruh yang lelah tapi tak menyerah. Aksi mogok kerja selama lebih dari dua bulan yang dilakukan oleh Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Aneka Industri (SPAI) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) PT . Sepatu Bata di tahun 2012, mungkin tak lagi ramai dibicarakan, namun jejak keberaniannya masih terasa hingga kini.
Kala itu, di tengah tekanan ekonomi dan sistem kerja yang tak jelas, ratusan pekerja kontrak dan harian memperjuangkan satu kata yang mahal: kepastian. Mereka menuntut diangkat sebagai karyawan tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/PKWTT). Aksi panjang itu bukan tanpa luka, ada intimidasi, ada pengorbanan, dan ada keluarga yang harus ditinggal demi satu keyakinan yaitu bahwa keadilan harus diperjuangkan, bukan ditunggu.
Setelah lebih dari dua bulan berjibaku dengan panas, hujan, dan dinginnya ketidakpastian, akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. Manajemen PT. Sepatu Bata menyetujui untuk mengangkat sekitar 500 pekerja menjadi karyawan tetap. Sebuah keputusan monumental yang menjadi bukti bahwa suara buruh, ketika disuarakan bersama-sama, dapat menggetarkan tembok kekuasaan.
Kini, lebih dari satu dekade berlalu, Walaupun Pabrik Sepatu Bata tak mampu bertahan akibat gencarnya serangan impor. Tapi ada yang tak pernah hilang, dimana kenangan akan solidaritas, air mata perjuangan, dan keindahan yang tersisa dari sebuah tragedi.
PUK SPAI FSPMI PT. Sepatu Bata telah membuktikan, bahwa perjuangan yang bersandar pada kebenaran dan kekompakan tak akan pernah sia-sia. Ini bukan sekadar kemenangan administratif, melainkan penegasan jati diri sebagai kelas pekerja atau kaum buruh.