Rupiah Terpuruk, Ancaman Krisis Moneter dan PHK Massal

Jakarta, KPonline – Nilai tukar (kurs) rupiah kian terpuruk dalam beberapa hari ini. Bahkan, Selasa (4/9/2018) sempat menyentuh angka Rp 15.000. Melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah ini mendapat tanggapan dari para aktivis buruh.

Muhammad Rusdi selaku Deputy Presiden KSPI juga ikut menuangkan pendapatnya terkait keterpurukan nilai tukar rupiah yang bisa berimbas pada ancaman PHK massal.

Bacaan Lainnya

“Masih terbayang diingatanku peristiwa 20 tahun lalu, saat aku ter-PHK pada tahun 1998 di sebuah percetakan surat kabar, majalah, dan buku di kawasan Industri Pulogadung. Sebelum ter-PHK, bosku yang bernama Mario Alisyahbana kurang lebih mengatakan, perusahaan tidak akan melakukan PHK pada pekerja, seandainya kurs dollar tidak lebih dari 10.000 rupiah. Jika lebih dari 10.000, beban perusahaan membayar cicilan hutang pembelian mesin cetak koran akan sangat berat naik 500 hingga 600%,” ujar Rusdi.

Pada akhirnya kurs dollar tak terbendung. Saya pun yang saat itu masih di usia 20 tahun dan masih duduk di semester IV kampus swasta di Rawasari mengalami PHK massal bersama puluhan rekan kerja.

Karenanya, ketika saat ini mendengar kurs dollar sudah dikisaran 15.000-an, saya kembali terbayang phk massal yang menimpa saya dan rekan rekan buruh lainnya. Semoga saja, pemerintah dan kita semua bisa mangatasi ini secara bersama-sama.

“Kalau pemerintah nggak sanggup jangan songong apalagi membohongi rakyat, apalagi masih pengen jadi presiden lagi di 2019, itu namanya terlaluuuu…” pungkasnya.

Selain itu Iswan Abdullah, ME Vice Presiden Politik dan Kebijakan Publik FSPMI/KSPI ikut memaparkan pendapatnya di akun media sosialnya miliknya, seperti ini:

KRISIS EKONOMI MENGINTAI INDONESIA, RUPIAH TERPEROSOK SIANG INI RP.15.000.-/USD.

Mari kita siap siap memasuki ekonomi biaya tinggi yang berdampak kepada:

Pertama, Indonesia menuju negara gagal bayar utang yang jatuh tempo tahun depan Rp.521 T akan semakin meningkat jumlahnya karena hampir 60-80% dalam bentuk utang valuta asing (utang Pemerintah plus utang BUMN).

Kedua, target pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai atau bahkan jauh melambat dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya.

Ketiga, target penerimaan negara dari pajak, migas dan non migas serta BPHTB akan meleset anjlok dari target APBN.

Keempat, Defisit neraca perdagangan, defisir neraca transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, defisit neraca balance primer, akan semakin besar.

Kelima, Distrust pasar terhadap Indonesia yang berdampak kepada Capital outflow ( larinya modal keluar negeri).

Keenam, Melonjaknya harga harga kebutuhan hidup (Inflasi) termasuk harga harga yang ditentukan oleh Pemerintah ( BBM, TDL, Elpigi, tarif tol, pajak, bea dan cukai serta dana dana retribusi lainnya) sehingga daya beli masyarakat menurun dan angka kemiskinan meningkat pula.

Ketujuh, Industri manufaktur, barang dan jasa akan banyak yang kollaps sehingga PHK akan semakin meningkat.

Ke-delapan , usaha perbankan dan jasa keuangan akan banyak yang likuidasi alias tutup.

Ke-sembilan, bunga simpanan perbankan bisa mencapai 30% seperti tahun 1998 sehingga sektor riil satgnan dan tidak bergerak.

Ke-sepuluh, Privatisassi/swastanisasi atau akan ada penjualan BUMN-BUMN secara masif dan sistimik.

Nilai tukar rupiah akan terus terperosok terhadap USD disamping karena secara internal fundamental ekonomi kita sangat lemah ditambah lagi faktor ekternal rencana Bank Federal USA akan menaikan 2 kali lagi suku bunganya sampai akhir tahun 2018 dan juga perang dagang antara USA dengan China akan memperparah kondisi ekonomi Indonesia.

Semoga saja kita tak memasuki krisis seperti tahun 1998 dan kalau itu terjadi dampaknya akan jauh lebih besar karena kondisi fundamental ekonomi kita sekarang jauh lebih buruk dibandingkan Indonesia ketika krisis tahun 1998.

WASPADA KRISIS MENGINTAI INDONESI

Pos terkait