
Jakarta, KPonline – Buruh kembali melakukan aksi, pada Senin 28 Maret 2016 jam 10.00 WIB di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jl Bungur Kemayoran, untuk menyuarakan penolakan terhadap kriminalisasi 23 aktivis buruh, 2 pengacara publik, dan seorang mahasiwa.
Aksi ini dilakukan demi menegakkan demokrasi agar tidak “setback ke masa Orde Baru”. Dimana kepolisian dihadirkan sebagai alat gebug oleh permintah untuk membungkam gerakan demokrasi yang disurakan oleh buruh, aktivis gerakan sosial, pengacara publik, dan mahasiswa.
Kriminalisai ke 26 aktivis tersebut dilakukan dengan menggunakan pasal karet yang selalu digunakan oleh rezim Soeharto, yaitu Pasal 216 dan 218 KUHP.
Dengan melakukan aksi melebihi jam pemberlakuan aksi pada tanggal 30 Oktober 2015, buruh tidak melakukan tindakan kriminal. Hal ini, karena, aksi melebihi jam pemberlakuan aksi hanya diatur dalam Perkap, dan Perkap tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan pemindaan. Lagipula, sesuai UU No. 9 Tahun 1998, sanksi yang diberikan terkait aksi massa adalah pembubaran, bukan pemidanaan.
Para terdakwa justru mendapatkan tindak kekerasan berupa pukulan, tendangan, pemitingan, hingga disemprot gas air mata. Tidak hanya itu, mobil komando milik massa aksi juga dirusak Polisi. Tetapi mereka yang sesungguhnya adalah korban, justru diberikan sanksi pidana. Sungguh ironis negeri ini.
Olek kerena itu, kaum buruh dan element sosial yang lain akan terus melakukan perlawanan. Karena skenario ini persis digunakan oleh zaman Soeharto, yaitu mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengedepankan tindakan represif dengan dalih untuk menciptakan stabilitas keamanan.
Buruh meminta hakim menggunakan nuraninya dengan membebaskan secara murni ke 26 orang terdakwa.
Perlu diingat, aksi buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 yang lalu adalah aksi untuk meminta Pemerintah mencabut PP No. 78 Tahun 2015 yang berorientasi pada upah murah.
Faktanya, PHK terjadi dimana-mana dalam kurun waktu 2 bulan ini. Itu artinya, PP No. 78 Tahun 2015 tidak efektif. Dengan demikian, aksi buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 adalah aksi yang murni bertujuan untuk mengoreksi kebijakan yang salah dari pemerintah.
Para buruh akan terus melakukan aksi secara bergelombang mulai 1 April hingga puncaknya pada peringatan May Day, tanggal 1 Mei 2016. Aksi ini mengusung satu tuntutan: CABUT PP NO. 78 TAHUN 2015 – TOLAH UPAH MURAH.
Kriminalisasi tidak akan menghentikan perjuangan kaum buruh untuk menuntut agar PP No. 78 Tahun 2015 dicabut.
GBI terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan terdiri dari beberapa Federasi Buruh, seperti FSPASI, SBSI 92, FSUI, FGSBM. (*)