Revisi UU Penerimaan Negara Bukan Pajak Dinilai Memalak Rakyat

Jakarta, KPonline – Revisi UU PNBP sudah masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2017. Salah satu yang diatur dalam naskah akademik yang disodorkan pemerintah adalah BNPB yang semangat awalnya adalah untuk mengejar pendapatan negara di sektor sumber daya alam, dalam BNPB yang baru, diatur juga soal pembebanan pungutan tambahan selain pajak di hampir semua sektor.

“Mau kawin kena biaya lagi, mau cerai kena biaya, mau rujuk kena biaya, universitas mau melakukan akreditasi, pendidikan harus bayar lagi, uang pangkal harus bayar lagi, pungutan-pungutan, uang semester harus bayar lagi, fasilitas kesehatan,” jelas kata ekonomm senior Rizal Ramli dalam diskusi publik bertajuk ‘RUU PNPB Lolos, Rakyat Tambah Beban’ di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (1/11).

Bacaan Lainnya

Rizal Ramli sangat kecewa dengan Menteri Keuangan yang kembali akan ‘memalak’ rakyat kecil melalui skenario gerakan senyap menggiring revisi Undang-Undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dalam rancangan revisi yang menjadi inisiatif pemerintah itu melingkupi jasa pelayanan pemerintah yang terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, keamanan dan ketertiban, ekonomi, lingkungan hidup, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.

Di sektor pendidikan, pemerintah juga akan membebankan PNBP sumbangan pembinaan pendidikan dan uang pendaftaran dalam rangka ujian saringan masuk perguruan tinggi.

“Di dunia pendidikan, dalam UU ini akan dikenakan uang pangkal semesteran. Saya jadi bertanya pada bu Sri, dia belajar ekonomi dimana? Karena di negara kapitalis sekalipun seperti Amerika Serikat sangat mengutamakan pendidikan,” katanya.

“Dia dibebaskan pajak dan beban. Bahkan kalau ada lembaga pendidikan melakukan kegiatan komersial, pendapatannya pun dibebaskan pajak. Dulu ada UU di Amerika, siapapun swasta mendirikan universitas, dikasih tanah ratusan hektar,” tambahnya.

Menurut Rizal, kebijakan Sri Mulyani akan menjerumuskan dunia pendidikan Indonesia dengan mengenakan berbagai beban biaya tambahan selain pajak.

“UU Dasar kita lebih maju, mengutamakan sektor pendidikan, tapi kok malah menerbitkan UU yang memberatkan. Gimana daya saing negara ini mau maju kalau kita mencari pendapatan dari sektor pendidikan. Sudah jelas tugas negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Hak rakyat untuk mendapat layanan dari pemerintah,” ungkapnya.

Rizal juga merasa prihatin yang mana UU itu juga akan memungut biaya pada sektor keagamaan, khususnya persolan pernikahan, cerai dan rujuk.

“Dirancangan UU ini, kalau saudara mau menikah, dikenakan charge. Kalau mau cerai kena juga, kalau mau rujuk juga kena. Jadi, uu ini hak warga negara mau nikah kok dikenakan beban biaya. Ini kebangatan. Lama-lama orang malas nikah dan berkembang budaya kumpul kebo,” jelas dia.

Namun menurut Rizal bahwa inisiatif mendorong revisi UU ini tidak lain adalah faktor kecemasan Sri Mulyani dalam mengendalikan utang negara. Undang-Undang ini di geber rampung tahun ini agar menjadi sumber penerimaan tambahan buat pemerintah pada tahun depan.

“Betul-betul sedang panik karena kewajiban membayar pokok dan bunga utang yang pada tahun ini berjumlah Rp 630 triliun,” tutur Rizal.

Revisi PNBP Menambah Beban Rakyat

Senada dengan Rizal, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan secara filosofis, masyarakat membayar pajak agar negara melayani dengan sebaik-baiknya dalam segala urusan. Bukan menambah beban masyarakat dengan adanya PNBP.

“Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), itu skandal. Jadi menurut saya dari sisi latar belakang kenapa undang-undang ini dibuat, pemerintah mestinya malu ya,” ungkapnya.

Diketahui, RUU PNBP disahkan DPR sesuai dengan naskah akademik yang disodorkan pemerintah pada tahun 2012 lalu, maka akan ada lebih dari 60 ribu pungutan yang dibebankan kepada rakyat. Pungutan itu belum termasuk pajak.

Salamuddin bilang harusnya bukan begitu cara pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak, melainkan dengan memaksimalkan penerimaan pajak di sektor sumber daya alam. Terlebih sampai saat ini, Indonesia masih sebagai eksportir batu bara, nikel, dan gas alam terbesar di dunia.

“(Juga) coba optimalkan negosiasi dengan Freeport. Empat poin negosiasi. Divestasi, pajak, smelterisasi, optimalkan royalti IUPK. Itu aja negosiasi dengan maksimal. Saya kira dapat, paling tidak tiga atau empat kali dari penerimaan yang ada sekarang,” ujar Salamuddin.

Lebih lanjut Salamuddin sepakat jika revisi UU PNBP mengarah kepada penerimaan negara di sektor sumber daya alam dibanding harus membebani rakyat.

“Menteri Keuangan kalau tidak mau mundur ya mengakulah ke depan publik bahwa saya ini kurang mampu ternyata untuk merencanakan memanage dan mencapai apa yang dimau oleh Pak Jokowi terkait dengan target penerimaan negara. Jangan sampai orang mau ujian, pas orang mau bayar ujian kena PNBP. Gila benar ini,” ketusnya.

Bagaimana Sikap Buruh?

Dalam programnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga menyoroti isu pajak. Bahkan KSPI pernah melakukan penolakan keras terhadap tax amnesty. Apakah buruh juga akan bergerak dan menolak revisi UU PNBP? Kita lihat saja.

Pos terkait