Refleksi 27 Tahun Kematian Marsinah

Kasus pembunuhan Marsinah sampai saat ini tidak terungkap, dan dia tetap menjadi simbol perlawanan kaum buruh di Indonesia sampai kapan pun. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)

Nganjuk,KPonline – Hari ini 27 tahun lalu tepatnya pada tanggal 8 Mei 1993, jasad seorang wanita ditemukan di sebuah hutan di Nganjuk, Jawa Timur. Dia adalah Marsinah yang sampai kini dikenang sebagai salah satu pahlawan buruh dan menjadi korban pelanggaran HAM.

Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa pemerintahan Orde Baru. Setelah beberapa kali pindah tempat kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya, di tahun 1990, Marsinah bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) di Surabaya.

Bacaan Lainnya

Disini ia bersama teman-temannya, menuntut pembentukan unit serikat perkerja, keterlibatannya pada aksi ini menyebabkan ia dipindahkan ke pabrik PT. CPS yang ada di Porong, Sidoarjo di tahun 1992.

Kematian Marsinah hingga kini masih menyisakan misteri yang belum terpecahkan. Sebelum ditemukan tewas, Marsinah memimpin aksi demonstrasi buruh PT CPS. Mereka menuntut adanya kenaikan gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari sesuai dengan instruksi Gubernur KDH TK I Jawa Timur yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 50 Tahun 1992.

Pada 3 Mei 1993, sebanyak 150 buruh dari total 200 buruh yang bekerja di pabrik arloji itu melakukan aksi mogok kerja. Marsinah yang saat itu masih berusia 24 tahun berdiri di barisan terdepan menyuarakan hak-hak buruh yang selama ini tak pernah terpenuhi.

Aksi mogok kerja digelar selama dua hari. Di hari kedua, pihak manajemen perusahaan memanggil 15 orang perwakilan untuk melakukan mediasi. Meski mediasi berjalan alot, pihak perusahaan akhirnya mau memenuhi segala tuntutan yang diajukan oleh para buruh.

Perjuangan Marsinah dan ratusan buruh lainnya untuk menyuarakan hak mereka memang menemui akhir bahagia: dikabulkan oleh perusahaan. Kenaikan gaji pokok sebesar 20 persen sesuai peraturan telah disepakati oleh perusahaan akan dipenuhi.

Namun, kabar suka cita tersebut berujung pada pemanggilan 10 buruh PT CPS oleh militer. Mereka yang dipanggil merupakan para buruh yang paling lantang bersuara selama unjuk rasa berlangsung. Mengetahui hal itu, Marsinah pun datang mendampingi teman-temannya.

Dalam pertemuan itu dengan perwira Kodim, para buruh diminta untuk mengundurkan diri dengan alasan tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Meski berada di bawah ancaman, Marsinah tak gentar.

Dari pertemuan tersebut, mereka memutuskan untuk pulang ke kediaman masing-masing sementara Marsinah pamit untuk makan.

Tak disangka, ternyata itu adalah pertemuan terakhir para buruh dengan Marsinah. Sejak malam itu, Marsinah menghilang selama 3 hari.

Absennya Marsinah bekerja di pabrik arloji membuat rekan-rekan buruh gusar. Awalnya, mereka menduga Marsinah izin pulang ke kampung halamannya di Nganjuk.

Selama tiga hari Marsinah menghilang, rekan-rekan buruh berusaha mencari keberadaan Marsinah. Pada 8 Mei 1993 pagi, mereka dikejutkan dengan kabar Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi penuh luka di hutan kawasan Nganjuk.

Jasad Marsinah dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk untuk dilakukan autopsi. Dari hasil visum et repertum yang dilakukan, ada luka robek teratur sepanjang 3 sentimeter di tubuh Marsinah. Luka tersebut ditemui mulai dari dinding kiri lubang kemaluan hingga ke rongga perut.

Tulang panggul bagian depan hancur dan di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang. Tak hanya itu, selaput dara Marsinah robek, kantung kemih dan usus bawah mengalami memar hingga rongga perut mengalami pendarahan.

Usai dimakamkan, makam Marsinah kembali dibongkar untuk dilakukan autopsi ulang. Dari otopsi yang dilakukan oleh tim dokter RSUD Dr. Soetomo Surabaya, hasil autopsi menunjukkan hal yang sama dengan sebelumnya.

Hingga kini, kasus pembunuhan terhadap Marsinah belum juga dapat terbongkar. Aparat membentuk tim terpadu dan mencokok 8 orang petinggi PT CPS. Penangkapan ini dinilai menyalahi proses hukum lantaran dilakukan tanpa surat penangkapan.

Mereka disiksa untuk mengakui telah melakukan skenario pembunuhan terhadap Marsinah. Pemilik PT CPS Yudi Susanto ikut dibekuk. Setelah 18 hari berlalu, petinggi PT CPS baru diketahui sudah mendekam di Polda Jatim.

Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara sementara staf lainnya mendapatkan vonis beragam mulai dari 4 hingga 12 tahun. Saat proses naik banding di Pengadilan Tinggi Yudi dinyatakan bebas.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan atau bebas murni. Banyak pihak yang menyayangkan hal tersebut dan menduga adanyaa rekayasa penyelidikan.

Setelah delapan orang divonis, Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut ambil bagian sebagai saksi ahli. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan hasil visum. Menurutnya, visum pertama tak sesuai standar pemeriksaan jenazah karena hanya bersifat parsial.

Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa barang bukti proses peradilan berupa balok janggal. Ukuran balok yang digunakan menyodok bagian genital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban yakni 3 sentimeter. Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang.

Idries menegaskan bahwa pendarahan bukan penyebab kematian Marsinah, melainkan tembakan senjata api.

Pembunuhan Marsinah adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan di era industrialisasi. Perubahan sistem ekonomi politik yang bertumpu pada penguasaan alat-alat produksi oleh kaum bangsawan (feodalisme) ke sistem kapitalisme ternyata tidak merubah pola kekerasaan pada perempuan.

Penindasan para pemilik modal di era industrialisasi kepada buruh itulah yang kemudian dilawan oleh Marsinah. Perempuan muda itu dengan berani menuntut kenaikan upah buruh, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi Marsinah, tidak ada beda antara buruh laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama bekerja dan harus mendapatkan upah yang layak.

Kasus Marsinah ini seolah menyiratkan bahwa perjuangan buruh perempuan Indonesia begitu terseok-seok. disatu sisi berjuang untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya, tetapi disisi lain juga harus berhadapan dengan aktor negara yang kapan saja bisa hadir dalam bentuk teror,intimidasi sampai pada usaha penghilangan nyawa secara paksa.

Semoga kisah kelam Marsinah ini mampu menyadarkan kita semua yang masih peduli dengan perjuangan akan kebebasan, menyuarakan kebebasan, kesetaraan dan distribusi kesejahteraan.

Pos terkait