Prof. Rhenald Kasali, Apa Salahnya Pemimpin Menguatkan Mereka yang Kesulitan?

Rhenald Kasali. (Gambar bersumber dari google.com)

Jakarta, KPonline – Usai membaca tulisan Prof. Rhenald Kasali berjudul ‘Orang-orang Kaya yang Mengaku Hidupnya Makin Sulit’ di kompas.com (31/8/2018), saya bertanya-tanya. Dimana salahnya jika ada orang kaya memiliki empati dan peduli dengan kehidupan orang-orang miskin?

Saya tidak miskin. Namun demikian, saya tidak menutup mata, bahwa jika saat ini hidup semakin sulit. Harga-harga naik, mencari kerja sulit, hingga berbagai subsidi (listrik, BBM, dsb) yang tidak ada lagi.

Bacaan Lainnya

Tanyakan pada buruh-buruh yang di PHK. Mereka yang upahnya dibayar murah. Juga pada emak-emak yang gundah ketika anak-anaknya masih menganggur ketika lulus sekolah.

Saya hampir setiap hari beriteraksi dengan mereka. Saya tahu betul kesulitan mereka. Sebagai aktivis serikat buruh, ada banyak pesan yang saya terima terkait dengan keluhan-keluhan semacam itu, yang pada intinya menegaskan satu hal: hidupnya makin sulit.

Lalu apa salahnya jika ada orang kaya yang mengaku hidupnya makin sulit? Pada saat yang sama, sesungguhnya kita bisa merenung. Jika orang-orang kaya saja mengaku hidupnya makin sulit, bagaimana dengan orang-orang yang kesulitan?

Pentingnya Berpihak Pada Mereka yang Lemah

Suara orang-orang miskin mungkin tidak terdengar lantang.  Berbeda dengan Rhenald Kasali yang bisa menulis untuk media massa ternama. Karena itulah, mereka membutuhkan semacam “corong” untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan. Corong itu macam-macam. Bisa organisasi, seperti buruh dengan serikat buruh. Bisa juga melalui tokoh politik yang peduli dengan kehidupan mereka. Terlebih lagi mereka yang akan maju dalam pemilihan presiden dan legislatif pada 2019 nanti.

Apa salahnya mereka memiliki kepedulian pada rakyat dengan menyuarakan bahwa perekonomian di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja?

Kesadaran bahwa saat ini kehidupan semakin sulit adalah modal penting untuk melangkah. Ia menjadi semacam energi, bahwa dalam kondisi sesulit ini, masih ada optimisme untuk berbenah diri.

Karena itu, agaknya Rhenald Kasali harus bisa membedakan dua hal ini. Mana pengakuan bahwa hidup makin sulit yang dilandasai pada kesadaran dan kehendak untuk berbenah, dengan pengakuan hidup makin sulit yang dilandasi pada sikap frustasi dan apatis.

Pengakuan yang pertama adalah kehendak untuk melakukan perbaikan. Seperti, misalnya, karena saya sadar masih miskin, maka harus bekerja lebih giat lagi. Karena saya sadar masih bodoh, maka belajar dengan tekun.

Bahkan partai yang berkuasa mengidentifikasi dirinya sebagai ‘partai wong cilik’. Itu bukan saja mengatasnakan rakyat, tetapi juga menegaskan dimana ia berpihak. Meskipun, dalam hal ini, mereka yang berkuasa akan dinilai apakah slogan ‘wong cilik’ itu terimplementasi dalam kebijakan.

Calon-calon Presiden dan Wakil Presiden Jangan Berjarak dengan Rakyat

Tetapi kemudian saya menyadari kemana arah tulisan Rhenald Kasali ketika mengarah pada calon-calon presiden dan wakil presiden. Dia menulis, saya semakin terkesima saat membaca Twitter yang dikirim seorang anak muda tentang besarnya kekayaan calon-calon presiden dan wakil presiden. Ternyata sama saja. Besar harta mereka setahun terakhir ini naik fantastis. Tetapi dalam pernyataannya, mereka selalu mengatasnamakan rakyat dan merasa hidup di sini semakin susah.

“Rada ngga nyambung,” sergah anak muda yang menulis itu di Twiter.

Rhenald juga menulis, mereka yang merasa hidupnya tambah susah itu, selalu terkait dengan kata “rakyat.” Maksudnya, mereka sering sekali mengatasnamakan rakyat.

“Rakyat hidup semakin sulit,” “harga-harga yang harus dibayar rakyat terus melambung,” “daya beli turun.” Dan akhirnya “Rakyat di desa hidup merana, pekerjaan sulit.”

Mereka membuat rakyat merasa lebih susah, padahal rakyat yang dimaksud itu harus diajarkan keluar dari perangkap kepindahan (the great shifting), supaya usahanya kembali pulih dan ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi. Setiap kali melihat “rakyat susah” mereka ikut susah, tetapi hatinya tak tergerak sama sekali untuk mengulurkan bantuan, selain kata-kata.

Jika itu dikaitkan dengan calon-calon presiden dan wakil presiden, saya merasa hal itu justru sebagai bentuk empati kepada rakyat. Kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan rakyat. Ia meletakkan pada konteks, bahwa rakyat sedang susah. Karena itu harus ada yang dilakukan.

Karena rakyat kesulitan dalam mengakses lapangan kerja dan harga-harga yang tinggi, maka harus ada solusi yang dilakukan untuk mengatasi hal itu. Kira-kira inilah alur logikanya. Lapangan kerja harus diciptakan, harga-harga harus diturunkan. Bukannya malah subsidi dicabuti.

Bagaimana memberi solusi jika akar masalahnya tidak ditemukan? Karena itu, mengatakan kehidupan makit sulit, bukan menambah rakyat merasa makin susah. Justru sebaliknya, membuat rakyat makin kuat. Rakyat merasa bahwa pemimpinnya sudah menemukan ‘penyakit’, oleh karena itu percaya akan ada obat yang tepat untuk menyembuhkan penyakitnya.

Agak aneh bagi saya, jika Rhenald Kasali mempertanyakan calon-calon presiden dan wakil presiden yang memiliki keberpihakan kepada rakyat yang hidupnya makin sulit. Jika bukan kepada orang-orang kecil itu, lalu kepada siapa mereka akan berpihak? Apakah pada para taipan dan pengusaha kelas naga? Jika itu yang dilakukan, menurut saya,  rada ngga nyambung.

Pos terkait