Presiden Jokowi Setuju Revisi PP 78/2015, Kok Masih Ada yang Sebut Bakal Hambat Investasi

FSPMI - KSPI menuntut agar PP 78 Tahun 2015 dicabut.

Jakarta, KPonline – Dalam pertemuan dengan pimpinan serikat pekerja di Istana Bogor, 26 April 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) setuju dengan usulan serikat pekerja untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015). Belum juga revisi dilakukan, ada yang menyebut jika revisi tersebut justru akan menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Tentu pandangan ini berseberangan dengan aspirasi serikat pekerja.

Salah satu yang berpendapat revisi PP 78/2015 bakal menghambat investasi adalah Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah. Piter menilai, revisi PP 78/2015 mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha sehingga Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi tidak menarik di Indonesia. Apalagi di tengah persaingan memperebutkan investasi yang keluar dari Cina yang saat ini tengah dilanda perang dagang.

Bacaan Lainnya

“Ketidakpastian terkait perburuhan dan pengupahan akan menjadi hambatan masuknya PMA di tengah ketatnya persaingan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dalam memperebutkan relokasi investasi dari Jepang, Cina, dan Korea Selatan,” ujar Piter seperti dilansir Tirto.id, Senin (29/4/2019).

Potensi ketidakpastian yang dimaksud Piter, berasal dari salah satu poin yakni berupa tuntutan untuk mengembalikan hak berunding buruh atau mekanisme tripartit. Mekanisme ini, kata Piter, menentukan upah berdasarkan perundingan yang terdiri atas perwakilan pengusaha, buruh (melalui dewan pengupahan), dan pemerintah.

Namun mekanisme ini, lanjutnya, sarat dipengaruhi oleh kepentingan politisi maupun pemerintah daerah yang ingin menggaet dukungan elektoral melalui kebijakan populis bagi buruh. Hasilnya penetapan upah yang tinggi malah membebani pengusaha.

Melansir Solopos.com, Sabtu (4/5/2019), formulasi kenaikan upah dengan memperhitungkan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebenarnya lazim digunakan oleh banyak negara. Polandia dan Jepang juga menerapkan formula ini. Jepang pada Juli 2018 menaikkan upah buruh sebesar 3% berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi negeri itu (Nikkei Asian Review, 2018).

Penggunaan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam memperhitungkan kenaikan upah bertujuan menjaga iklim investasi agar tetap baik sehingga kelangsungan industri dan pekerja berjalan beriringan. Iklim investasi yang baik diyakini akan memberi kepastian investor untuk tetap menanamkan modal di dalam negeri dan menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak akibat investasi yang beralih ke luar negeri karena kontroversi masalah pengupahan yang berkelanjutan dan tak kunjung selesai.

Kita bukannya tidak setuju dengan kenaikan upah yang didasarkan dengan inflansi. Asalkan, basic upahnya sudah benar-benar layak. Sehingga kalau pun kenaikannya didasarkan pada inflansi, upah yang diterima masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan buruh masih bisa menyisihkan untukĀ  ditabung.

Masalahnya adalah, upah di Indonesia masih rendah. Sehingga kalau kenaikannya hanya sebatas inflansi, kondisinya bisa digambarkan seperti besar pasak daripada tiang.

Buruh menuntut Jokowi mencabut PP 78/2015, agar upah di Indonesia tidak terus-menerus murah.

 

Upah Bukan Penghambat Investasi

Pendapat Peter yang mengatakan dicabutnya PP 78/2015 bakal menghambat investasi keliru. Dilansir dari cnbcindonesia.com (30/1/2018), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan, hambatan utama yang selama ini membuat Indonesia tertinggal adalah permasalahan regulasi yang tumpang tindih. Selain itu, hambatan lain yang menjadi catatan adalah persoalan pajak, tenaga kerja, hal-hal yang berkaitan dengan izin lahan, kurangnya ketersediaan infrastruktur, sampai dengan dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam proyek.

Senada dengan Thmas, Direktur Fasilitas Promosi Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Husen Maulana mencatat terdapat lima hambatan berinvestasi di Indonesia yang kerap dikeluhkan oleh para investor. Dua persoalan pertama yang menjadi keluhan investor, adalah inkonsistensi peraturan dan pajak. Sementara tiga masalah lain, Husen menambahkan ialah persoalan mengenai kualitas tenaga kerja, ketersediaan lahan dan hambatan izin pembangunan, serta kualitas infastruktur. Mengenai tenaga kerja, salah satu yang menjadi keluhan berkaitan dengan pekerja asing. (Tirto.id, terbit pada 17 Januari 2018).

Dari sini terlihat jelas, masalah upah tidak bukanlah penghambat investasi. Sebaliknya, dibandingkan dengan negara-negara lain, upah buruh di Indonesia cenderung murah. Bahkan ada yang mengatakan, Indonesia adalah adalah surganya upah murah.

Revisi PP 78/2015 justru memberi peluang bagi tripartit (pekerja, pengusaha, dan pemerintah) untuk duduk bersama guna menentukan besarnya upah minimum. Tidak seperti saat ini, kenaikan upah minimum ditetapkan sepihak sesuai dengan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini, selain menghilangkan hak berunding serikat pekerja untuk ikut serta menetapkan kenaikan upah minimum, ini juga tidak memberikan kepastian pendapatan bagi pekerja.

Seperti kita tahu, seiring dengan dicabutnya PP 78/2015, serikat pekerja juga mendesak agar komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang saat ini 60 item direvisi menjadi 84 item. Alasannya, masih ada kebutuhan kaum pekerja yang tidak tercover dalam item KHL. Sehingga upah yang diterima oleh kaum buruh masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Serikat pekerja akan terus menagih janji Presiden Jokowi untuk memenuhinya janjinya untuk merevisi PP 78/2015.

Kahar S. Cahyono (Vice President FSPMI – Kepala Departemen Komunikasi dan Media KSPI)

Pos terkait