PHK Karena Kemauan Sendiri

Aksi buruh 1 September 2015 ( Foto : Maxie )

Jakarta, KPonline – Pekerja yang mengajukan permintaan pengunduran diri harus dilakukan secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha. Terhadap PHK karena mengundurkan diri atas kemauan sendiri, boleh dilakukan tanpa melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Oleh karena itu, ada dua hal yang harus diperhatikan ketika kita hendak melakukan advokasi terhadap pekerja yang di PHK karena alasan mengundurkan diri. Pertama, sebab dia mengundurkan diri harus karena kemauannya sendiri. Kedua, tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha.

Bacaan Lainnya

Selanjutnya, pekerja yang mengundurkan diri harus memenuhi syarat berikut: (1) mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; (2) tidak terikat dalam ikatan dinas; dan (3) tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Ketentuan ini penting untuk kita perhatikan. Karena dalam beberapa kasus, sering ditemui adanya pekerja yang disuruh dan/atau dipaksa mengundurkan diri oleh pengusaha. Hal yang demikian tentu tidak bisa dikategorikan dalam PHK karena jenis ini.

Pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri tidak mendapatkan pesangon. Tetapi kepada yang bersangkutan diberikan uang penggantian hak yang meliputi: (a)  cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; (b)  biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja; (c) penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; (d) hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 162 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak juga diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pertanyaannya, bagaimana jika dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tidak mengatur tentang besarnya uang pisah? Jawaban saya, meskipun uang pisah belum diatur oleh perusahaan, tidak serta merta menghilangkan hak pekerja untuk mendapatkan uang pisah sebagaimana dimaksud Pasal 162 Ayat (2).

Tidak diaturnya uang pisah dalam peraturan perusahaan tidak otomatis menghilangkan hak buruh atas uang pisah itu. Hal seperti ini pernah terjadi dalam perkara antara Rini Kurniasari melawan PT GE Finance Indonesia. Ketika Rini mengundurkan diri, PT GFI tidak memberikan uang pisah karena tidak diatur oleh perusahaan. Tetapi kemudian Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum PT GFI untuk membayar uang pisah kepada Rini.

Dalam pertimbangannya disebutkan, bahwa oleh karena Tergugat tidak mengatur uang pisah secara otonom sementara Penggugat telah mengabdi dengan baik selama kurang lebih 8 (delapan) tahun (vide bukti P-1 dan P-2) maka dalam menghitung uang pisah Penggugat, Majelis Hakim merujuk pada ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, oleh karena perselisihan yang menjadi objek gugatan a quo adalah PHK karena mengundurkan diri maka sangat beralasan apabila Majelis Hakim menghukum Tergugat membayar uang pisah kepada Penggugat sebesar 2 x Rp. 2.712.600,- = Rp. 5. 425.200,- (lima juta empat ratus dua puluh lima ribu dua ratus rupiah).

Akhirnya dalam putusannya 587 K/Pdt.Sus/2008, Mahkamah Agung menegaskan “Judex facti tidak salah menerapkan hukum dan putusan judex facti (Pengadilan Hubungan Industrial) yang memutuskan besarnya uang pisah karena belum diatur dalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja Bersama dapat dibenarkan guna memenuhi rasa keadilan dan kekosongan hukum”.

Pos terkait