PHK Karena Efisiensi

Bogor, KPonline – Kata PHK, merupakan sebuah kata menjadi momok yang sangat meresahkan bagi kaum buruh atau para pekerja. Padahal kalau dicermati secara benar, PHK ini pasti terjadi dan tidak dapat dihindari oleh pekerja itu sendiri. Secara harfiah, PHK merupakan proses berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja.

Secara detail masalah PHK ini tercantum di UU No.13 tahun 2003 ( ketenaga kerjaan ) BAB XII. Perjanjian kerja dapat berakhir apabila:

a. Pekerja meninggal dunia.

b. Jangka waktu kontrak kerja berakhir.

c. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI) yang telah mempunyai ketetapan hukum.

d. Adanya keadaan atau kejadian  tertentu yang tercantum perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan yang dapat mengakibatkan berakhirnya hubungan kerja.

  

Didalam pasal 164 UU no.13 tahun 2003 disebutkan:

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Namun, sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011, ketentuan Pasal 164 ayat (3) pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup secara permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.

Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dimaknai bahwasanya sebuah perusahaan tidak bisa melakukan PHK dengan dalih “efisiensi”. Dalam perjalananya, pelaksanaan efisiensi dirubah narasinya dengan penggunaan kata “pensiun dini” atau yang dapat kita kenal dengan “pengunduran diri”. Sehingga perusahaan juga tidak melakukan pelanggaran hukum. Karena “pengunduran diri” ini merupakan inisiasi dari pekerja.

Dalam hal pengunduran diri prosesnya seorang pekerja bisa melayangkan surat pengunduran dirinya dalam jangka waktu 30 hari sebelumnya. Dan tidak harus adanya penetapan dari lembaga penyelesaian masalah hubungan industrial atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Yang ditempuh hanyalah proses bipartit antara pekerja dan pengusaha. Dan tidak dibenarkan adanya “intimidasi” dari pemberi kerja.

Dan dalam hal ini, tentu kaum buruh membutuhkan adanya perwakilan dari buruh yang akan melaksanakan proses bipartit tersebut, salah satunya melalui pengurus serikat pekerja/serikat buruh., yang khusus mengurus tentang “pengunduran diri” ini. Dengan harapan tidak ada satu pihak yang dirugikan dari proses ini. Apabila ada pihak-pihak yang membuat resah dengan menakut- nakuti tentang PHK , dimohon segera berkoordinasi dengan pengurus serikat pekerja/serikat buruh di tempat kerjanya, karena hal tersebut sudah berlawanan dengan hukum dan menciptakan keresahan. (Anom Suroto)