Pesangon Ku Seperti Supermarket, Yang Tak Bisa Ditawar-Tawar

Purwakarta, KPonline – Setelah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 25 November 2021, PT. NSS Indonesia yang berada di Kawasan Industri Kota Bukit Indah, Purwakarta menyatakan bubar.

Hal itu diungkapkan oleh Mimin Ida Nurjanah, salah satu karyawan dari perusahaan tersebut.

Bacaan Lainnya

“Kemudian, baru pada 26 November, perusahaan memberitahukan kepada karyawan, bahwa perusahaan tutup,” lanjut Mimin yang saat ini juga menjabat Ketua Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PUK SPEE-FSPMI) PT. NSS Indonesia.

Seperti diketahui, bila perusahaan tutup dengan alasan kerugian. Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh.

Namun dengan catatan, meruginya tersebut secara terus menerus selama 2 (dua) tahun. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 164 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Selain itu, menurut Mimin perusahaan (PT. NSS Indonesia) juga akan melakukan proses likuidasi. Namun dalam likuidasi yang akan dilakukan pada Januari 2022 nanti, perusahaan belum melaporkan kepada pihak atau badan atau dinas terkait. Sehingga pada akhirnya pihak Bea Cukai melakukan audit dan perusahaan pun tidak jadi melakukan proses likuidasi pada Januari, melainkan mundur ke Juli 2022

Likuidasi adalah salah satu proses yang wajib dilalui pengusaha sebagai syarat penutupan suatu perusahaan. Istilah ini juga dapat memiliki arti sebagai cara pemberesan atau pembersihan perusahaan serta menyelesaikan kewajiban perusahaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, likuidasi merujuk kepada “Pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham”.

Dalam hal terjadinya pembubaran Perseroan sesuai yang tercantum dalam pasal 142 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), maka Pasal 142 ayat (2) huruf a UUPT menentukan bahwa setelah pembubaran perseroan karena alasan-alasan yang dimaksud dalam pasal 142 ayat (1) UUPT wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator.

Berikut ini adalah tahap-tahap Likuidasi sebuah Perseroan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 147 sampai dengan pasal 152 UUPT:

1. Tahap Pengumuman dan Pemberitahuan Pembubaran Perseroan

Terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, Likuidator wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, Likuidator juga wajib memberitahukan pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi. (Pasal 147 ayat (1) UUPT).

Kemudian, likuidator melakukan pemberitahuan kepada kreditor dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia. sebagaimana yang dimaksud diatas, pemberitahuan harus memuat pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; nama dan alamat likuidator; tata cara pengajuan tagihan dan jangka waktu pengajuan tagihan. Jangka waktu pengajuan tagihan tersebut adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran Perseroan. Dalam hal pemberitahuan kepada Menteri tentang pembubaran Perseroan, likuidator wajib melengkapi dengan bukti dasar hukum pembubaran Perseroan dan pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar. (Pasal 147 ayat (2), (3) dan (4) UUPT).

Apabila pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi orang ketiga. Jika likuidator lalai melakukan pemberitahuan tersebut, likuidator secara tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga. (Pasal 148 ayat (1) dan (2) UUPT).

2. Tahap Pencatatan dan Pembagian Harta Kekayaan

Selanjutnya, menurut Pasal 149 ayat (1) UUPT, kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi harus meliputi pelaksanaan:

Pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan
Pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi.
Pembayaran kepada para kreditor.
Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham.
Tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.
Kemudian dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan. (Pasal 149 ayat (2) UUPT).

3. Tahap Pengajuan Keberatan Kreditor

Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran Perseroan. Dalam hal pengajuan keberatan tersebut ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan (Pasal 149 ayat (3) dan (4)).

Kemudian kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu tersebut, dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung tanggal penolakan, sebaliknya kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran perseroan diumumkan (Pasal 150 ayat (1) dan (2)). Tagihan yang diajukan kreditor tersebut dapat dilakukan dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan bagi pemegang saham. Dengan demikian pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil tersebut secara proposional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan (Pasal 150 ayat (3), (4) dan (5) UUPT).

Apabila dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan kewajibannya seperti yang diatur, atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan kejaksaan ketua pengadilan negeri dapat mengangkat Likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama. Pemberhentian likuidator tersebut, dilakukan setelah yang bersangkutan dipanggil untuk didengar keterangannya (Pasal 151 ayat (1) dan (2) UUPT).

4. Tahap Pertanggung Jawaban Likuidator

Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya atas likuidasi Perseroaan yang dilakukan dan kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan yang dilakukan (Pasal 152 ayat (1) UUPT).

5. Tahap Pengumuman Hasil Likuidasi

Kemudian, likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggung jawaban likuidator yang ditunjuknya. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi kurator yang pertanggung jawabannya telah diterima oleh hakim pengawas (Pasal 152 ayat (3) dan (4) UUPT).

Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 152 ayat (3) dan ayat (4) dipenuhi. Ketentuan ini berlaku juga bagi berakhirnya status badan hukum Perseroan karena Penggabungan, Peleburan atau Pemisahan (Pasal 152 ayat (5) dan (6) UUPT).

Selanjutnya, pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 152 ayat (3) dan (4) UUPT dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim pengawas (Pasal 152 ayat (7) UUPT).

Tahapan-tahapan likuidasi telah dinilai selesai pada saat Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Saat ini pihak serikat pekerja (PUK SPEE-FSPMI) PT. NSS Indonesia terus berupaya melakukan negosiasi dengan Manajemen PT. NSS Indonesia. Meminta, agar Manajemen memberikan pesangon sesuai harapan pekerja dan tentunya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan (Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Bukan hal yang tidak mungkin, bisa saja atau diduga pola untung dan rugi menjadi konsep pembayaran Pesangon di PT. NSS Indonesia. Beralasan kerugian lalu “bubar” lebih menguntungkan karena akan mengeluarkan nominal uang yang sedikit, dibandingkan beralasan rugi lalu efesiensi. Karena beralasan efesiensi, sudah pasti mengeluarkan nominal uang yang tidak sedikit.

“Pesangon ku seperti supermarket, yang tak bisa ditawar-tawar,” tutup seorang pekerja PT. NSS yang tidak mau disebutkan namanya.

Pos terkait