Pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 di Monas, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan komitmennya untuk menghapus sistem outsourcing di Indonesia. Beliau menekankan bahwa penghapusan ini perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu iklim investasi di tanah air. Presiden juga berencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional untuk merumuskan skema transisi penghapusan outsourcing dengan pendekatan menyeluruh, termasuk menjaga stabilitas dunia usaha.
Demikian juga dengan penghapusan outsourcing di tubuh PLN memerlukan langkah-langkah strategis dan perencanaan yang matang. PLN, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memiliki struktur organisasi dan kebutuhan operasional yang kompleks. Sebagian besar pekerjaan teknis di PLN, seperti operator 70kV, operator kolaborasi, operator 20kV, yantek, pemeliharaan, dispatcher, dan APKTTM, telah dialihkan ke perusahaan outsourcing hingga ke pekerjaan di sisi transmisi dan pembangkitan. Pengalihan ini bertujuan untuk efisiensi biaya dan fokus pada tugas inti perusahaan.
Memang wajar jika pengeluaran PLN semakin sedikit antara membayar pegawai tetap dengan mengalihkan pekerjaan ke perusahaan outsourcing. Dengan meng-outsourcing-kan sebagian besar pekerjaan, PLN dapat mengurangi biaya gaji dan tunjangan yang seharusnya diberikan kepada pegawai tetap. Perusahaan outsourcing yang mengambil alih pekerjaan tersebut biasanya dapat memberikan biaya yang lebih rendah karena mereka tidak perlu memberikan jaminan sosial, tunjangan, atau fasilitas lain yang setara dengan pegawai tetap.
Namun, meskipun biaya pengeluaran PLN bisa lebih rendah, ada konsekuensi dari pengalihan ini. Salah satunya adalah ketimpangan yang muncul antara pekerja outsourcing dan pegawai tetap PLN, yang berujung pada ketidakpuasan di kalangan pekerja outsourcing. Mereka sering kali merasa tidak mendapatkan hak dan perlakuan yang setara meskipun mereka menjalankan pekerjaan yang sama pentingnya bahkan dengan resiko yang lebih berbahaya. Kesejahteraan pekerja outsourcing seringkali menjadi yang paling terabaikan, dan meskipun mereka bertanggung jawab atas operasional yang krusial, mereka tidak mendapatkan perlindungan atau manfaat yang setara dengan pegawai tetap PLN.
Jika sistem outsourcing dihapuskan, PLN perlu menyiapkan strategi untuk mengintegrasikan kembali pekerja outsourcing ke dalam struktur internal perusahaan. Hal ini mencakup penyesuaian anggaran untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya, serta pelatihan untuk memastikan pekerja memiliki keterampilan yang sesuai dengan standar perusahaan. Selain itu, PLN harus memastikan bahwa penghapusan outsourcing tidak mengganggu kelancaran operasional dan kualitas layanan kepada masyarakat.
Pekerja outsourcing memang sadar bahwa untuk mencapai kesejahteraan yang setara dengan pegawai tetap PLN sangat tidak mungkin. Hal ini disebabkan oleh struktur kontrak kerja yang tidak permanen, sering kali tidak adanya jaminan masa depan, dan ketergantungan pada kontrak yang bisa diperbaharui atau tidak. Sering kali mereka hanya mendapatkan upah sesuai dengan standar minimum tanpa adanya tunjangan kesehatan, pensiun, atau jaminan lainnya sebagaimana yang didapatkan pegawai tetap.
Namun, kesadaran ini juga harus menjadi titik awal untuk berjuang. Pekerja outsourcing di PLN perlu memanfaatkan keberadaan serikat pekerja sebagai alat perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Melalui serikat pekerja, mereka dapat menyuarakan aspirasi untuk mendapatkan perlakuan yang lebih adil, meskipun mencapai kesejahteraan yang setara dengan pegawai tetap bukanlah hal yang mudah.
Serikat pekerja dapat menjadi wadah untuk mendiskusikan dan memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk upah yang layak, jaminan kesehatan, tunjangan, serta perlindungan dari pemutusan hubungan kerja yang sepihak. Melalui wadah ini, pekerja outsourcing juga bisa meningkatkan keterampilan dan mendapatkan perlakuan yang lebih setara dalam sistem kerja PLN.
Jika bergabung dalam serikat pekerja, pekerja outsourcing dapat memperkuat posisi tawar mereka untuk mendapatkan perlakuan yang lebih adil. Meskipun perubahan besar tidak bisa tercapai secara instan, berserikat memberikan mereka kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan meningkatkan kualitas hidup, meskipun tidak selalu dapat dipersamakan dengan pegawai tetap PLN.
Dengan berserikat, pekerja outsourcing dapat menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekadar tenaga kerja yang bisa diperlakukan tanpa hak, tetapi juga individu yang berhak mendapat pengakuan, penghormatan, dan perlindungan yang setara dengan pekerja lainnya.
Data menunjukkan laba bersih PLN dari tahun ke tahun terus meningkat signifikan. Pada tahun 2023, PLN berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp22,07 triliun, yang merupakan keuntungan terbesar dalam sejarah perseroan. Capaian laba tersebut melonjak 53,15 persen dibandingkan dengan laba pada tahun 2022 yang tercatat sebesar Rp14,41 triliun. Peningkatan ini mencerminkan kinerja keuangan yang sangat baik dan efisiensi operasional yang berhasil dijalankan oleh PLN.
Tidak hanya itu, pada tahun 2024, hingga Oktober, PLN kembali mencatatkan angka laba bersih yang mengesankan, yaitu sebesar Rp50,1 triliun. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp40 triliun. Pencapaian ini menunjukkan tren pertumbuhan yang konsisten dan terus meningkat, mencerminkan keberhasilan PLN dalam mengelola aset dan operasionalnya.
Meskipun PLN mencatatkan laba yang signifikan, ada kenyataan lain yang tidak bisa diabaikan, yaitu ketimpangan kesejahteraan antara pekerja outsourcing dan pegawai tetap PLN. Perusahaan mencatatkan keuntungan besar namun pekerja outsourcing yang mengelola sebagian besar tugas teknis dan operasional penting sering kali tidak menikmati kesejahteraan yang setara dengan pegawai tetap. Hal ini mengundang pertanyaan mengenai keadilan dan kesetaraan dalam distribusi keuntungan perusahaan.
Mengurangi pengeluaran perusahaan dengan meng-outsourcing-kan pekerjaan memang menguntungkan PLN dalam hal efisiensi biaya, tetapi perlu diperhatikan bahwa pekerja outsourcing juga memiliki kontribusi yang sangat penting dalam kelangsungan operasional PLN. Oleh karena itu, meskipun laba terus meningkat, penting bagi PLN untuk memperhatikan kesejahteraan para pekerja outsourcing. Dengan memastikan perlakuan yang adil dan layak, PLN dapat menciptakan hubungan kerja yang lebih seimbang dan berkelanjutan, yang pada gilirannya akan mendukung kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Aturan pengupahan perusahaan lain atau perusahaan outsourcing di PLN sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan PLN No. 055 Tahun 2023. Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak vendor atau perusahaan outsourcing yang belum menjalankan aturan tersebut dengan baik. Salah satu contoh ketimpangan yang sangat mencolok adalah dalam hal tunjangan masa kerja, di mana pekerja yang telah bekerja lebih dari 10 tahun hanya diberikan tunjangan sebesar 30 ribuan.
Ketimpangan ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam perlakuan terhadap pekerja outsourcing yang telah lama mengabdi. Padahal, tunjangan masa kerja seharusnya menjadi salah satu bentuk penghargaan terhadap kontribusi dan loyalitas pekerja selama bertahun-tahun. Tunjangan yang sangat rendah ini jelas tidak sebanding dengan pengalaman dan dedikasi yang telah diberikan oleh pekerja tersebut.
Ketimpangan dalam pemberian tunjangan masa kerja ini juga mencerminkan kurangnya perhatian dari pihak manajemen dan vendor terhadap kesejahteraan pekerja. Meskipun PLN telah mencatatkan laba yang signifikan, kesejahteraan pekerja, khususnya pekerja outsourcing, seharusnya menjadi salah satu prioritas. Untuk itu, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap implementasi aturan pengupahan yang sudah ada dan memastikan bahwa hak-hak pekerja outsourcing, termasuk tunjangan masa kerja, diberikan secara adil dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, PLN dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih seimbang, memperhatikan kesejahteraan pekerja, dan mendukung kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Contoh lain yang mencolok adalah ketika PLN mengalami keuntungan yang signifikan, namun para pekerja outsourcing tidak ikut menikmati hak yang biasa mereka terima pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu bonus akhir tahun. Ini menunjukkan adanya ketimpangan lebih lanjut dalam distribusi keuntungan, di mana pekerja yang telah memberikan kontribusi besar dalam kelancaran operasional PLN justru tidak mendapatkan bagian yang setimpal dari laba yang dihasilkan perusahaan. Hal ini semakin memperburuk ketidakadilan yang dirasakan oleh pekerja outsourcing dan menjadi bukti bahwa keuntungan yang tinggi tidak selalu tercermin dalam kesejahteraan pekerja.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa para pekerja outsourcing perlu membangun kesadaran akan pentingnya berserikat untuk meningkatkan nilai tawar mereka dalam memperjuangkan kesejahteraan. Penting bagi mereka untuk menyadari bahwa kesejahteraan bukan hanya milik pegawai tetap PLN. Pekerja outsourcing juga berhak untuk mendapatkan perlakuan yang adil, jaminan sosial yang memadai, serta manfaat yang setara dengan kontribusi yang mereka berikan.
Berserikat menjadi salah satu cara yang efektif bagi pekerja outsourcing untuk menyuarakan hak-hak mereka dan memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik. Dengan berserikat, mereka dapat memperkuat posisi tawar mereka, memperjuangkan tunjangan yang layak, perlindungan dari pemutusan hubungan kerja yang sepihak, serta fasilitas lain yang seharusnya mereka terima.
Kembali, kesejahteraan pekerja outsourcing harus menjadi prioritas yang sama pentingnya dengan kesejahteraan pegawai tetap, karena mereka turut berperan dalam kelangsungan operasional PLN. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih seimbang dan adil bagi semua pekerja, baik outsourcing maupun pegawai tetap, untuk mendukung kinerja perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan seluruh pihak yang terlibat.
Penulis: Moh. Machbub
Editor: Deddy Chandra