Pemerintah Pastikan Upah 2023 Masih Pakai Rumus PP 36/2021

Jakarta KPonline – Rumus penghitungan upah minimum provinsi (UMP) 2023 dipastikan akan menggunakan formula yang ada dalam PP 36/2021 tentang Pengupahan. Artinya, rumusan UMP tahun depan sama seperti tahun ini.

Hal tersebut dikemukakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam rapat kerja bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (23/8/2022).

Bacaan Lainnya

Dalam PP 36 Tahun 2021 pasal 26 disebutkan penetapan nilai upah minimum berada di antara batas atas dan bawah pada wilayah yang bersangkutan.

Dia mengatakan, untuk kabupaten/kota yang belum memiliki upah minimum, maka dapat memenuhi syarat tertentu yang ditetapkan pemerintah dalam menetapkan upah. Pertama, berdasarkan rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota tersebut selama tiga tahun terakhir. Dengan catatan, pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi. Kedua, menggunakan perhitungan berdasarkan nilai pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi di kabupaten/kota bersangkutan dalam tiga tahun terakhir. “Dari data yang tersedia pada periode yang sama selalu positif dan lebih tinggi dari nilai provinsi,” imbuh Ida.

Tahapan yang dilakukan dalam persiapan penetapan upah minimum ini adalah, pertama, berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Kedua, koordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) lainnya. Ketiga, Kementerian Ketenagakerjaan juga melakukan dialog dengan stakeholder seperti dengan serikat buruh/serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Keempat, melaksanakan forum konsolidasi penetapan upah minimum dengan seluruh pemerintah daerah. “Ini alurnya, kami membuat alur dari Agustus sampai Desember 2022,” kata Ida.

Berdasarkan PP 36 Tahun 2021 terdapat beberapa data yang dibutuhkan untuk formula penyesuaian adalah upah minimum bagi daerah yang telah memiliki upah minimum yaitu pertumbuhan ekonomi menurut kabupaten/kota 2019-2021, pertumbuhan ekonomi menurut provinsi 2019-2021, angka inflasi perkotaan (menurut kota) 2019-2021, angka inflasi menurut provinsi 2019-2021, angka Purchasing Power Parity (PPP) menurut provinsi 2020-2022, angka PPP menurut kabupaten/kota 2020-2022, tingkat pengangguran terbuka menurut provinsi 2019-2021, tingkat pengangguran terbuka menurut kabupaten/kota 2019-2021, median upah menurut provinsi 2019-2021, dan median upah menurut kabupaten/kota 2019-2021.

Sementara itu, penyusunan formula penetapan upah minimum bagi daerah yang baru akan menetapkan upah minimum membutuhkan data rata-rata konsumsi rumah tangga per kapita per bulan, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja berumah tangga, pertumbuhan PDRB, dan angka inflasi menurut provinsi dan kabupaten kota.

“Kemudian penentuan upah per jam untuk pekerja paruh waktu menggunakan satu data saja yaitu median jam kerja pekerja paruh waktu. Penentuan terendah upah terendah pada usaha mikro dan kecil menggunakan satu data saja yaitu garis kemiskinan menurut provinsi,” papar Ida.

Anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar Darul Siska mengatakan, selama ini kebijakan UMP tidak bisa langsung diterapkan di daerah. Sebab tidak semua kepala daerah juga paham dengan rumus-rumus penetapan UMK. Dia mendorong agar Kemenaker bisa memberikan penjelasan secara cepat ke pemerintah daerah, sehingga ini tidak berlarut-larut di daerah.

Darul menyarankan agar penetapan UMP tidak dilaksanakan setiap tahun, sebab seringkali menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Penetapan UMP yang dilakukan setiap tahun dikhawatirkan akan berdampak pada minat investor untuk investasi di Indonesia.

“Setiap tahun perusahaan harus menetapkan upah atau menetapkan pendapatan bagi karyawan, sementara UMR-nya berubah terus setiap tahun. Saya kira perlu dicari formulasi yang mudah sehingga penetapan UMR ini tidak selalu sensitif setiap tahun,” kata Darul.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Muhammad Rizal meminta Kemenaker meningkatkan pengawasan terhadap penerapan kebijakan UMP di perusahaan outsourcing. Sebab, Rizal kerap menemukan banyak buruh yang tidak digaji sesuai UMP oleh perusahaan outsourcing.

“Saya kira ini persoalan yang terjadi ya, karena ini banyak laporan kepada kami, bagaimana pengawasan atau kontrol dari Kemenaker terhadap perusahaan-perusahaan outsourcing. Di Tangerang banyak karyawan perusahaan outsourcing yang hanya menerima gaji Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta dan ini tidak merata,” ucap Rizal. ( di )

Pos terkait