….berhasil mengerahkan kaum buruh yang berjuta juta agar meninggalkan pekerjaannya, dan yang bukan buruh agar tak mau bekerja sama, serta seluruh rakyat berdemonstrasi untuk menuntut hak ekonomi dan politik tanpa melempar sebutir kerikilpun kepada pegawai pemerintah, niscaya akibat politik moral dari aksi itu sangat besar artinya, ia akan mendatangkan keuntungan dalam perjuangan politik dan ekonomi, lebih besar dari seratus Pemberontakan (Tan Malaka).
Jakarta, KPonline – Kaum buruh tidak asing dengan kata boikot. Bahkan, dalam banyak kesempatan, seruan boikot pernah dilakukan terhadap beberapa produk. Belajar dari aksi boikot terhadap sari roti yang saat ini terus menguat, saya rasa penting bagi kaum buruh untuk mengambil pelajaran. Dengan demikian, di masa yang akan datang, kita bisa melakukan aksi boikot dengan lebih baik.
Sebagaimana kita ketahui, sebelum boikot sari roti yang menguat pasca aksi 212, tahun 2013 lalu, buruh Indonesia juga pernah menyerukan hal yang sama. Ketika itu, buruh menyerukan boikot terhadap sari roti, karena dianggap perusahaan melanggar hak-hak pekerjanya. Tidak hanya sari roti, gerakan serupa juga pernah dilakukan terhadap Samsung (Bekasi), Alfamart (Sumatera Utara), hingga Yosan (Tangerang).
Ini menunjukkan, bahwa kita memiliki kesadaran, bahwa boikot adalah kekuatan. Dalam konteks perjuangan kaum buruh, kita bisa memaknai bahwa boikot adalah senjata. Boikot merupakan instrumen politik yang biasa dilakukan oleh warganegara. Dengan demikian, boikot, setara dengan aksi politik, seperti demonstrasi, mogok, dan juga doa bersama.
Menurut wikipedia, boikot adalah tindakan untuk tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi, sendiri-sendiri atau bersama-sama, sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan.
Dengan demikian, boikot bukan suatu tindakan yang melanggar hukum. Tentu saja, boikot dilakukan tanpa kekerasan. Ia mengajak kesadaran orang untuk bergabung. Jika kesadaran untuk melakukan boikot terus meluas, melibatkan banyak orang dan menyebar di berbagai daerah, maka hal itu akan menjadi kekuatan kekuatan protes dan pemaksaan yang dahsyat.
Sebagaimana kita ketahui, perubahan politik di suatu negara yang dilakukan oleh massa atau rakyat, pada umumnya dilakukan melalui aksi demonstrasi, mogok, boikot, dan berdoa. Keberhasilan aksi-aksi tersebut selain sejalan-nya satu aksi dengan aksi lain-nya, juga harus dapat dijaga semangat dari partisipan aksi boikot untuk jangka waktu yang cukup.
Strategi Boikot
Agar aksi boikot bisa berjalan efektif, maka harus dirumuskan dengan jelas dan terukur tentang apa, bagaimana, dan untuk apa. Sebagai contoh, boikot terhadap produk sari roti. Maka harus dirumuskan dengan jelas, apa yang akan diboikot, misalnya, roti sari roti. Bagaimana boikot dilakukan, misalnya, tidak membeli/makan roti sari roti. Untuk apa boikot dilakukan, misalnya, agar managemen sari roti memberikan hak-hak pekerjanya.
Hal-hal tersebut harus diketahui secara luas oleh para partisipan aksi boikot, agar boikot dapat berjalan dengan efektip dan efisien.
Ketika aksi boikot bergulir, akan lebih baik jika aksi tersebut diumumkan ke publik. Misalnya, buruh di Banten tidak lagi mengkonsumsi sari roti. Tidak hanya itu, koperasi-koperasi perusahaan, yang semula menyediakan sari roti, tidak lagi menjual di lingkungan perusahaannya. Hal ini penting dilakukan, agar tumbuh kepercayaan, bahwa aksi boikot sedang bekerja dan diikuti banyak orang.
Pada awalnya, boikot (boycott) adalah nama orang. Kemudian menjadi istilah sebuah gerakan. Berikut sejarahnya:
Adalah Charles Boycott Cunningham, seorang purnawirawan kapten Angkatan Darat Inggris. Boycott bekerja pada Lord Erne (John Crichton, 3rd Earl Erne) seorang tuan tanah di Lough Mask daerah County Mayo, Irlandia; ia dikucilkanoleh masyarakat Irlandia sebagai bagian dari kampanye hak-hak penyewa tanah (pada waktu itu kedudukan penyewa tanah Irlandia sangat lemah). Kampanye hak-hak penyewa tanah tersebut (1880) dikenal sebagai kampanye menuntut adanya: “sewa yang adil, kepastian waktu sewa, dan penjualan hasil secara bebas“ atau : “Three Fs” (fair rent, fixity of tenure, and free sale).
Untuk mendukung kampanye “Three Fs” tersebut Liga Tanah Irlandia – dipimpin oleh Charles Stewart Parnell dan Michael Davitt – menarik tenaga kerja lokal yang diperlukan untuk menyimpan hasil panenan perkebunan Lord Erne, dan kemudian melakukan pula isolasi terhadap kegiatan Boycott; toko-toko, binatu, dan petugas pos di Ballinrobe (wilayah di dekat kebun Earl Erne) menolak untuk melayani-nya.
Kampanye melawan Boycott tersebut menjadi populer di Inggris, setelah ia menulis surat kepada surat kabar “The Times” mengadukan situasi yang dihadapainya di Irlandia. Dari sudut pandang kerajaan Inggris pada waktu itu, hal yang dialami Boycott tersebut adalah suatu pengorbanan seseorang yang setia terhadap kerajaan Inggris melawan semangat nasionalisme Irlandia. Jika hal semacam itu tidak dicegah, maka akan membahayakan kewibawaan kerajaaan Inggris.
Untuk menyelamatkan hasil panen perkebunan Lord Erne tersebut, maka kerajaan Inggris mengirim lima puluh Orangemen (orang-orang yang setia kepada kerajaan Inggris) dari County Cavan dan County Monaghan ke kebun Lord Erne, disamping itu satu resimen tentara dan lebih dari 1.000 pria dari Royal Irlandia Constabulary dikerahkan untuk melindungi para pemanen. Seluruh episode tersebut diperkirakan menelan biaya pemerintah Inggris lebih dari £ 10.000; untuk melindungi hasil panen sekitar £ 500.
Sejak peristiwa tersebut nama Boycott menjadi kata kerja bahasa Inggris boycott yaitu kegiatan yang menggambarkan aksi kaum nasionalis Irlandia mengucilkan Charles Boycott Cunningham, dan dalam bahasa Indonesia adalah boikot. Dengan demikian boikot dapat di-definisi-kan sebagai suatu tindakan untuk tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi, sendiri-sendiri atau bersama-sama, sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan. Boikot pada umumnya dilakukan tanpa kekerasan (non-violence). Boikot disebut sukses jika pengorbanan selama melakukan boikot tersebut menghasikan sesuatu seperti apa yang diharapkan, dan nilai-nya sepadan dengan nilai pengorbanannya.
*) Disadur dari berbagai sumber