Kopi Jokowi, Paskoglatik, dan Starbucks

Jakarta, KPonline – Nama kopi tiba-tiba melejit. Hal ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo bersama keluarga ngopi di kedai kopi yang berada di Jl Cipete Raya, Jakarta, Minggu 2 Juli 2017 dan menjadi berita.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari minum kopi. Sesuatu yang bagi banyak orang sangat biasa. Sebelum akhirnya berita tentang kopi ramai di media. Sebelum Jokowi ngopi, boikot terhadap Starbuck juga sedang menggema.

Bacaan Lainnya

Begitulah. Akhirnya kopi punya makna lain, bahkan politis.

Bagi para aktivis buruh, kopi bukan hal baru. Ia bahkan seperti menjadi menu wajib dalam rapat-rapat serikat. Termasuk ikut hadir ketika para aktivis ini menggelar demonstransi. Ini terlihat dengan istilah kopi gelas plastik. Sebutan yang semula dipopulerkan oleh mereka yang doyan ngopi di sela-sela aksi, sambil duduk melingkar di trotoar atau jalanan beraspal.

Belakangan, kopi gelas plastik menjadi semacam komunitas: Paskoglatik. Beberapa kali mereka mengadakan pertemuan dengan tempat bergantian, seperti Tangerang, Bekasi, Subang, Karawang, Cirebon, bahkan Bogor.

Kopi gelas plastik.

Kembali ke soal ngopi yang dilakukan Presiden Jokowi. Dalam kesempatan ini, Presiden memuji usaha yang dimiliki Tyo karena mengedepankan produk lokal. Semua biji kopi yang digunakan dalam proses kopi tersebut berasal dari dalam negeri.

“Saya sangat mengapresiasi ini brand lokal, brand tradisional yang sukses ciptaannya anak-anak muda, untuk mengembangkan brand-brand lokal, brand tradisional yang seperti ini,” ujar Presiden.

Saat mengantri, Presiden menanyakan kopi yang paling enak kepada kasir kedai kopi tersebut.

“Kopi apa yang paling enak?” tanya Presiden. Kopi susu tetangga adalah minuman yang direkomendasikan Tyo.

Presiden bersama Ibu Iriana memilih tempat di pojok kedai kopi tersebut untuk berbincang-bincang dengan Tio.

Mungkinkah apresiasi Jokowi terhadap brand lokal bermakna politis? Sebagaimana kita tahu, seruan boikot terhadap salah satu brand kopi internasional — starbucks — saat sedang menggema. Dengan memuji brand lokal, secara tidak langsung Joko Widodo sedang mengatakan, cintailah produk dalam negeri.

Apakah ini dapat diartikan Jokowi mendukung boikot terhadap Starbucks? Terlalu berlebihan memaknai peristiwa ini sebagai bagian dari gerakan boikot. Tetapi yang pasti, jika Indonesia kaya beragam hal tentang cita rasa kopi, buat apa memilih produk asing?

Ini bukan soal boikot. Ini adalah bentuk komitmen untuk mencintai produk dalam negeri. Dimulai dari hal sederhana: ngopi.

Seperti dilansir sejumlah media, gerakan boikot Starbucks di Indonesia muncul setelah CEO Starbucks, Howard Mark Schultz terang-terangan mendukung dan mengkampanyekan kesetaraan kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan pernikahan sejenis. Hal tersebut membuat beberapa pihak di Indonesia mengusulkan untuk melakukan boikot karena ideologi dan pemahaman bisnis Starbucks bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.

Menanggapi seruan boikot terhadap starbuck, Peneliti Ekonomi Syariah School of Islamic Economics (STEI SEBI) Aziz Setiawan menyatakan, usulan boikot terhadap satu brand atau kelompok dagang tertentu dinilai sah saja. Jika etika bisnis brand tersebut tidak sejalan dengan etika bangsa dan brand tersebut tidak menghormati budaya lokal masyarakat yang ada di sekitarnya.

Begitupun Starbucks. Karena pada dasarnya prinsipnya LGBT juga sudah bertentangan dengan UU perkawinan Indonesia.

Menurut Aziz, konsumen berhak mendapatkan barang, produk, yang selain bisa dikonsumsi oleh mereka, juga dapat memberikan dampak positif pada lingkungan sosial yang baik. Karenanya Aziz mengimbau, kini sudah saatnya konsumen di Indonesia bisa lebih cerdas dalam mengonsumsi satu produk.

Tetapi dibalik semua itu, kopi memang memiliki sejuta inspirasi. Ia punya banyak makna. Di beberapa tempat, bahkan sudah menjadi semacam budaya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *