Partai Buruh: Naiknya BBM, Bisa Picu Ledakan PHK

Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat menyampaikan orasinya di acara Konsolidasi Idiologi Partai Buruh di Sidoarjo Jawa Timur ,Sabtu 23 Juli 2022 . Foto oleh (Jarwo)

Purwakarta, KPonline – Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan pengalihan subsidi BBM. Akibatnya, harga sejumlah jenis bahan bakar subsidi naik.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menuturkan sejumlah perubahan harga BBM. Perubahan itu yakni, Pertalite dari Rp 7.600 menjadi Rp 10.000.

Bacaan Lainnya

“Solar subsidi Rp 5.150 menjadi Rp 6.800. Pertamax nonsubsidi Rp 12.500 menjadi Rp 14.500,” ujar Arifin.

Alhasil, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah pada Sabtu, (3/9/2022). Menimbulkan beragam penolakan dari berbagai kalangan masyarakat.

Diantaranya, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh menolak keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, kenaikan harga BBM ini dilakukan di tengah turunnya harga minyak dunia.

“Terlebih kenaikan ini dilakukan di tengah negara lain menurunkan harga BBM. Seperti di Malaysia, dengan Ron yang lebih tinggi dari pertalite, harganya jauh lebih murah,” kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal dikutip dari siaran persnya, Minggu (4/9/2022).

Menurut dia, kenaikan BBM tersebut akan menurunkan daya beli yang saat ini sudah turun 30 persen. Dengan harga BBM naik, kata Iqbal, maka daya beli akan turun lagi menjadi 50 persen.

“Penyebab turunnya daya beli adalah peningkatan angka inflansi menjadi 6.5 persen hingga – 8 persen sehingga harga kebutuhan pokok akan meroket,” ujarnya.

“Dengan kata lain, diduga tahun depan upah buruh tidak akan naik lagi,” tegas Iqbal.
Dia pun khawatir dengan naiknya harga BBM akan membuat ongkos energi industri melonjak. Hal itu bisa memicu terjadinya ledakan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berbicara akan terjadi ledakan PHK, rasanya benar apa yang telah dikatakan oleh Presiden Partai Buruh tersebut dan selanjutnya bisa dipastikan angka jumlah penduduk miskin di Indonesia akan merangkak naik akibat gelombang PHK.

Melihat sedikit sejarah kebelakang, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,73 juta orang (10,96 persen).

Kemudian pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen).

Dimana, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16 persen, naik menjadi 8,29 persen pada Maret 2015. Sementara persentase penduduk miskin di daerah pedesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015.

Selanjutnya, selama periode September 2014 sampai Maret 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 0,29 juta orang (dari 10,36 juta orang pada September 2014 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2015), sementara di daerah pedesaan naik sebanyak 0,57 juta orang (dari 17,37 juta orang pada September 2014 menjadi 17,94 juta orang pada Maret 2015).

Pada periode September 2014–Maret 2015, baik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) cenderung mengalami kenaikan. Meningkatnya jumlah penduduk miskin pada September 2014-Maret 2015 diduga karena berawal dari naiknya harga BBM.

Pada waktu itu Presiden Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi pada 18 November 2014 pukul 00.00 WIB, dimana BBM subsidi jenis Premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter. Sementara itu, harga Solar naik dari Rp5.500 menjadi Rp7.500 per liter.

Pos terkait