Omah Buruh: Saat Mereka Membutuhkan Bantuan (4)

Bagian keempat dari artikel bertema Omah Buruh yang ditulis Muhammad Indrayana ini akan bercerita tentang peran Omah Buruh dalam membantu perjuangan kaum buruh dari acaman preman yang mengintisipasi mogok kerja mereka. Begitu mendapatkan informasi ada ancaman, dengan segera mereka menuju lokasi. Turun tangan untuk bersolidaritas. Bagian ketiga tulisan ini bisa dibaca di sini: Omah Buruh: Tempat Kami Menyatukan Hati (3)

Bekasi, KPonline – Muncul pertanyaan dalam hatiku. Apakah yang aku lakukan benar? Jika benar, mengapa banyak preman yang menebar ancaman?

Bacaan Lainnya

Sempat terpikir olehku, mana yang lebih baik? Mengundurkan diri ataukah tetap menjadi anggota serikat pekerja? Lalu apa bedanya aku dengan mereka para penitip nasib dan menjadi benalu organisasi?

Tetapi yang pasti, keselamatan keluargaku adalah yang utama bagiku. Aku khawatir akibat aktivitasku di serikat, keluarga akan celaka.

Masih belum tersadar dari lamunan, aku terkaget dengan pekikan: “Hidup buruh yang melawan!”

Ternyata ada sebuah pabrik di kawasan Jababeka yang membutuhkan evakuasi karena aksi mogok kerja mereka dibubarkan preman.

Menurut informasi, banyak diantara mereka yang melakukan mogok kerja adalah ibu-ibu. Aku diam seolah tak mendengar apa yang mereka ributkan. Mereka yang punya motor langsung bergegas menuju ke TKP dengan tujuan bisa membantu evakuasi para buruh yang mogok. Tak ketinggalan tetanggaku tadi.

Dalam hati aku bertanya, mengapa mereka harus dilarikan ke omah buruh? Bukankah di Jababeka sudah ada Saung Buruh? Ternyata akses ke Saung Buruh sudah ditutup oleh para preman bayaran.

Waktu itu, pemangku wilayah tersebut juga tidak mau terlibat masalah karena keberadaan para pekerja yang rencananya mau diungsikan ke Saung Buruh. Dengan segala pertimbangan dan hasil kesepakatan bersama, akhirnya para pekerja yang mogok diungsikan ke Omah Buruh meski jarak yang harus di tempuh relatif lebih jauh.

Dalam keadaan diam akupun agak mundur ke belakang agar keberadaanku tak terlalu mencolok karena yang lain pergi membantu proses evakuasi para pekerja yang mogok.

Tapi apa yang terjadi? Ketika mau duduk di sebuah warung yang ada di Omah Buruh, istriku menyerahkan kunci mobil yang dari tadi dibawanya.

Aku pun bertanya. Buat apa kunci mobil tersebut?

“Bawa saja. Takut jatuh kalau aku yang bawa,” aku beralasan agar kunci itu tetap di bawa oleh istriku

“Jemput mereka, Yah. Mereka butuh bantuan saat ini.” Timpal istriku.

Aku pandang wajah istriku yang sepanjang jalan tadi menangis. Air mata di pipinya masih membekas di pipinya.

Tanpa ba-bi-bu, aku segera memacu kendaraan meninggalkan anak dan istriku di Omah Buruh. Aku yakin mereka aman dan aku yakin itu.

Sampai di lokasi, ternyata masih banyak pekerja yang ada di depan pagar dan ditunggui preman bayaran. Dari dalam, aku meminta mereka masuk mobil untuk segera menyusul dengan yang lainnya ke Omah Buruh.

Tapi tak satu pun yang bersedia masuk ke dalam mobil. Rona kebingungan dan ketidakpercayaan di raut wajah mereka. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi pada semua ini.

Mungkinkah kemeja dan mobil ini yang membuat mereka tak percaya kalau ini punya buruh sama seperti mereka? Mereka tak percaya dengan penampilan perlente. Akhirnya aku copot kemejaku dan aku ganti dengan kaos Garda Metal yang memang sengaja aku taruh di bagasi mobil agar setiap saat kalau ada instruksi Garda Metal tak harus pulang dulu ke rumah dan bisa langsung meluncur ke TKP.

Setelah berganti baju dan celana, aku pun keluar dan memekikkan, “Hidup buruh yang melawan!”

Akhirnya mereka mau juga masuk mobil. Kapasitas mobil yang harusnya di penuhi dengan lima orang plus sopir ini benar-benar melebihi kapasitas. Karena setelah dihitung, orang yang ada di mobil berjumlah 9 orang plus sopir. Mau ditinggal juga sudah banyakan yang diangkut oleh kawan-kawan lainnya. Jika mau diangkut semua juga dalam hati kasihan. Mereka tidak bisa duduk dengan nyaman.

Di dalam mobil terlihat wajah-wajah tegar dari para ibu. Tak bisa dibayangkan hubungan kerja yang sudah berlangsung puluhan tahun masih berstatus karyawan harian lepas. Tapi dalam keadaan seperti itu mereka masih bisa becanda soal kenapa tadi mereka tidak mau naik ke mobil yang aku kemudikan. Mereka mengira akan diculik oleh orang suruhan perusahaan.

“Masa buruh tumpangannya Honda Jazz siih, Pak?” Celoteh mereka.

“Kalau buruh mah naiknya paling banter motor, Pak. Itu pun kalau dipercaya bank buat kredit ke dealer untuk motor mereka.” Lanjut mereka. Seakan buruh itu di haramkan untuk hidup senang.

Apakah benar itu pemikiran murni mereka? Ataukah karena pikiran mereka yang sudah disesatkan opini yang mencoba mendeskreditkan kaum buruh?

Berita buruh naik motor ninja saja sudah mengundang sinis banyak orang. Apalagi ini naik mobil?

Namun demikian, aku gembira bisa membantu kawan-kawan buruh. Sesuatu yang rasanya tidak akan bisa kulakukan, jika aku tidak bergabung dengan serikat pekerja.

Bekasi, 2 April 2014
Penulis: Muhammad Indrayana
Fotografer: Iwan Budi Santoso

Tulisan lain terkait Omah Buruh:

Omah Buruh: Kesetiaan yang Tak Tergantikan (1)

Omah Buruh: Intimidasi Itu Nyata di Depan Mata (2)

Omah Buruh: Tempat Kami Menyatukan Hati (3)

Omah Buruh: Saat Mereka Membutuhkan Bantuan (4)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *