Obon Tabroni: Sebagus Apapun Aturan Kalau Pengawas Tidak Bagus, Aturan Tinggal Aturan

Purwakarta, KPonline – Sejak Wabah Corona atau Covid-19 melanda diberbagai negara di dunia, telah membuat situasi ekonomi berjalan menjadi kurang baik.

Di Indonesia sendiri pun begitu. Negara yang sempat menjadi Macan Asia, kini secara masif mulai luluh lantak perekonomiannya akibat wabah tersebut. Dan tidak sedikit dunia industri yang bertumbangan. Mulai dari industri penerbangan, pariwisata hingga manufaktur.

Bacaan Lainnya

Kembali, yang namanya pengusaha itu tidak mau rugi. Padahal untung dan rugi adalah dua hal yang harus bisa diterima, karena itu sudah ketentuan dalam menjalani dunia usaha. Dan kalau rugi, bukan berarti bisa berbuat “suka-suka gue”.

Karena tidak mau rugi, ternyata ada saja dari segelintir pengusaha nakal yang mulai memanfaatkan momen situasi ini. Berdalih efisiensi yang katanya untuk menyelamatkan perusahaan di masa pandemi, dijadikan sebagai strategi mereka untuk mencari keuntungan dan itu tentu merupakan pelanggaran terhadap hak dasar buruh.

Berdalih efisiensi, upah mulai dikurangi. Bahkan, sampai pemutusan hubungan kerja (PHK) kini mulai menghantui para pekerja atau buruh.

Memang tidak bisa dipungkiri, Covid-19 begitu terasa dampaknya dalam dunia industri. Banyak pengusaha yang mungkin saat ini mengeluh, barang produksinya tidak laku karena daya beli masyarakat/konsumen menurun akibat berdiam diri dirumah agar terhindar dari virus Corona.

Namun, karena hal itu baru berlangsung beberapa bulan saja dan tidak sebanding dengan keuntungan yang sudah mereka peroleh beberapa tahun kebelakang, atau mungkin puluhan tahun, rasanya mereka tidak harus melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak dasar buruh.

Menurut Surat Edaran Menteri Nomor: SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 menyebutkan, “Namun apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukan upaya sebagai berikut:

a). Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas. Misalnya, tingkat manajer dan direktur.

b). Membatasi/menghapuskan kerja lembur.

c). Mengurangi jam kerja.

d). Mengurangi hari kerja.

e). Meliburkan atau merumahkan pekerja atau buruh secara bergilir untuk sementara waktu.

f). Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya.

g). Memberikan pensiun bagi sudah yang memenuhi syarat.

Selain daripada itu, pengusaha dapat melakukan PHK kepada pekerja juga harus mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam pasal 163, 164, 165, 166 dan pasal 167 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Sebagus apapun aturan, kalau pengawas tidak bagus, aturan tinggal aturan,” tegas Obon Tabroni.

Dalam kunjungannya ke KC FSPMI Karawang pada Senin (27/7). Obon Tabroni selaku anggota Komisi IX DPR RI banyak menerima pengaduan dari pekerja. Mulai dari masalah pengupahan, BPJS dan status kerja.

Banyak saat ini pekerja yang upahnya berkurang karena alasan Covid-19, perusahaan terpaksa melakukan efesiensi. Tetapi apakah upah yang berkurang dan dirasakan oleh pekerja kelas bawah juga telah diterima oleh pekerja kelas atas?

Kalau tidak, berarti benar Covid-19 hanya akal-akalan saja. Selanjutnya, bagi yang ter-PHK, apakah pengusaha juga telah mengikuti anjuran Surat Edaran Menteri tersebut.

Dan agar tidak terjadi hal-hal yang dilakukan oleh segelintir pengusaha nakal tersebut, tentu dibutuhkan pengawasan yang serius dari pemerintah melalui lembaga terkaitnya.

Pemerintah harus melindungi masyarakatnya, sesuai amanah UUD 45, dimana dalam pasal 27 ayat 2 dalam UUD tersebut menyebutkan “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Pos terkait