Netizen : Presiden Kurang Smart & Gagap Dalam Menghadapi Corona

Jakarta,KPonline – Langkah lamban dan kurang transparan dari pemerintah dalam menangani kasus Corona terus mendapatkan kecaman baik dari dalam maupun luar negeri. Selain dari WHO, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), LSM , Gubernur hingga warganet tak ketinggalan memberikan komentar.

” Yang membuat orang panik itu bukan virus dan info tentang di mana saja yang terjangkitnya, tapi kalau yang sedang berkuasa tidak terlihat tanggap dan tidak punya rencana terukur dan tindakan cepat untuk menghadapi kondisi yang terjadi! Jangan diputarbalikkan ” ujar netijen dengan account Ik**an D**n

Bacaan Lainnya

” Pelajaran dari kasus AS dan negara-negara lain adalah kalau sudah ada kasus virus mudah menular, kesampingkan dulu ekonomi dan lain-lain. Gerak cepat dan lebih baik overreaktif menjaga keselamatan dan kesehatan penduduk Indonesia. Kalau orang Indonesia pada sakit kan juga ekonomi lebih sulit berjalan. Ini kok respons (awalnya) menganggarkan dana utk buzzer utk mengatasi turunnya pariwisata karena Corona.. Ampuun… ” tambahnya.

Sementara account Bud* W****o mengatakan berdasarkan data Dari John Hopkins University Indonesia No 2, persentase kematian krn Covid 19. Tingkat kematian corona : Italia, 7.2 %; Indonesia, 5.2 %; Iran, 4,5 %; Cina, 3.9%; Jepang, 2.10%; Spanyol, 2.5%; Perancis 2.1%; Amerika = 1.8 %, Belanda, 1.2 %. Begitulah rakyat dibawah Rezim yg hanya perduli Investasi.

Far***d G*****n dalam status sosialnya menulis ” BUKAN PEMERINTAH TAK MAU TRANSPARAN. Sejumlah pihak menuntut Pemerintahan Jokowi untuk transparan tentang data corona: berapa suspect, berapa yang dipantau, berapa yang dikonfirmasi positif, serta di mana saja penyebarannya.

Presiden Jokowi menolak membuka semua karena, kata beliau, “tak ingin membuat masyarakat panik.”

Menurutku, itu bukan alasan sebenarnya pemerintah tidak mau membuka data.

Alasan sebenarnya: pemerintah sendiri tak punya data pasti tentang corona dan seberapa luas penyebarannya.

Dimulai dengan penyangkalan (denial) yang antara lain diilhami oleh obsesi pada citra Indonesia sebagai negeri yang ramah investasi dan ramah wisata, pemerintah sangat longgar dalam memantau 100 lebih bandara dan pelabuhan masuk.

Pemeriksaan (screening) ketat, termasuk interogasi tentang riwayat perjalanan, diabaikan karena khawatir akan mengurangi kenyamanan wisatawan.

Tanpa pemantauan dan dokumentasi ketat, pemerintah sendiri sebenarnya “meraba dalam gelap” tentang apa yang sedang terjadi menyangkut corona.

Pada 2 Maret, ketika Presiden Jokowi mengumumkan pasien positif pertama corona, kita tahu bahwa bukan pemerintah yang menemukan kasusnya. Ini diketahui karena pasien sendiri yang melapor dan minta diperiksa.

Adalah beberapa negeri lain pula (Singapura, Australia, Malaysia dan Jepang) yang menemukan kasus-kasus positif berkaitan dengan kunjungan ke Indonesia.

Indonesia telanjang. Pada awal Maret kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ada 1,27 juta kunjungan turis asing ke Indonesia selama Januari 2020.

Kala itu corona sudah mulai menyebar dari China ke negara-negara lain di Asia maupun Eropa. Kunjungan turis asal China sendiri pada Januari itu masih cukup besar, yakni 180.000 orang.

Indonesia masih telanjang bahkan sampai akhir pekan ini ketika otoritas pelabuhan Semarang membolehkan 1.000 lebih wisatawan asing turun ke kota dan mengunjungi tempat-tempat wisata di Jawa Tengah.

Dengan kelonggaran seperti itu, saya ragu pemerintah sendiri punya estimasi cukup akurat untuk mendeteksi potensi penyebaran wabah ini.

Tak punya estimasi, apalagi data pasti. Itulah alasan sebenarnya pemerintah tidak memenuhi tuntutan transparansi.

Pos terkait