Naiknya Iuran BPJS Kesehatan, Komersialisasi Program JKN?

Naiknya Iuran BPJS Kesehatan, Komersialisasi Program JKN?

Magetan, KPonline – Pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang berkisar antara 47 – 110 %. Informasi yang beredar di media, kenaikan iuran untuk peserta yang didaftarkan oleh pemerintah (penerima bantuan iuran/PBI), akan mulai diberlakukan pada awal September ini.

Rencana tersebut dilakukan pemerintah sebagai upaya menjamin kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, sebab saat ini defisit anggaran pembiayaan pelayanan kesehatan sebesar 28 Triliun.

Bacaan Lainnya

Sejauh ini beberapa usulan telah disampaikan ke pemerintah, yaitu dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Kementerian Keuangan. Sayangnya baik DJSN maupun Kementerian Keuangan dibawah komando Sri Mulyani, tidak menguraikan ke khalayak umum dasar dari penghitungan usulan mereka.

Untuk kenaikan iuran DJSN mengusulkan :
‌Kelas 3 diusulkan naik sebesar 42.000 (naik 65%) atau bertambah 16.500 dari iuran sebelumnya yang sebesar 25.500.
‌Kelas 2 naik sebesar 75.000 (naik 47%) atau bertambah 24.000 dari iuran sebelumnya yang sebesar 51.000.
‌Untuk kelas 1 naik sebesar 120.000 (naik 50%) atau bertambah 40.000 dari iuran sebelumnya yang sebesar 80.000.
‌Sedangkan untuk PBI DJSN mengusulkan naik 19.000 menjadi sebesar 42.000 dari sebelumnya sebesar 23.000 (naik 83%).

Adapun usulan dari Kementerian Keuangan adalah :
‌Kelas 3 naik menjadi sebesar 42.000 atau bertambah 16.500 (65%) dari iuran sebelumnya yang sebesar 25.500
‌Kelas 2 naik sebesar 110.000 (116%) atau bertambah 59.000 dari iuran sebelumnya yang sebesar 51.000
‌Kelas 1 naik 100% menjadi 160.000, dari iuran sebelumnya yang sebesar 80.000
‌Untuk PBI/peserta yang didaftarkan oleh pemerintah, Menteri Keuangan tidak mengusulkan kenaikan iuran.

Rencana kenaikan iuran tersebut sontak memicu berbagai tanggapan dari masyarakat. Mayoritas masyarakat menolak naiknya iuran program JKN BPJS Kesehatan. Mereka menilai, kenaikan iuran itu malah akan semakin mencekik dan menambah beban masyarakat ditengah perekonomian yang sedang sulit.

Terlebih lagi, masih rendahnya kualitas pelayanan yang didapatkan peserta dan lemahnya komitmen semua pihak terhadap program JKN. Hal itulah yang sangat menghambat pelaksanaan JKN dalam mewujudkan universal healthy​ coverage.

Sebenarnya kemungkinan terjadinya defisit sudah diprediksi sejak awal program dijalankan. Adapun besarnya jumlah defisit yang menggunung menunjukkan ketidakmampuan jajaran direksi BPJS Kesehatan dalam mengelola dana JKN.

Apabila di bandingkan dengan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang sempat diterapkan sebelum era BPJS, maka akan diketemukan perbedaan yang mencolok.

Di tahun 2013 saja, Jamkesmas mampu meng-cover 96,4 juta penduduk dengan anggaran sebesar 8,298 triliun rupiah. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam penerapan Jamkesmas maupun Jamkesda, namun adanya ketimpangan ini patut ditelusuri dan dikaji lebih lanjut.

Salah satu alasan pemerintah menaikkan iuran, dikaitkan dengan teori aktuaria yang menyatakan bahwa biaya iuran masih jauh di bawah nilai aktuaria. Anehnya pemerintah serta BPJS benar-benar mengikuti logika pasar dengan perhitungan aktuaria yang umumnya digunakan oleh perusahaan asuransi komersial untuk menghitung resiko dan keuntungan perusahaan.

Jamkeswatch Menolak

Jamkeswatch sebagai salah satu sayap organisasi KSPI, menolak keras rencana kenaikan iuran tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Heri Irawan, salah satu relawan yang dihubungi oleh Koran Perjoeangan.

“Jika Pemerintah tetap memaksa menaikkan iuran kepesertaan Mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU), ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang lesu saat ini, akan memperbesar potensi banyak peserta yang gagal bayar atau menunggak iuran. Kita menolak keras adanya kenaikan iuran.” Ujarnya mengingatkan.

Masih menurut Heri, nantinya banyak peserta yang akan turun kelas, melakukan pindah kelas dari manfaat kelas 1 ke kelas 3. Heri bahkan memastikan, bukannya iuran yang akan bertambah untuk menutupi defisit anggaran, tetapi malah kolektifitas iuran akan turun drastis.

KSPI dan Jamkeswatch bahkan mempersiapkan aksi demonstrasi yang melibatkan 150 ribu buruh seluruh Indonesia untuk menolak kenaikan tersebut.

Salah satu aktivis jaminan sosial Ade Kenzo, juga diungkapkan hal senada. Ade menyoroti sulitnya mengakses pendaftaran dan pelayanan kesehatan di era BPJS. Kewajiban mendaftar BPJS menggunakan rekening bank bagi klas 3, jelas-jelas sangat menyulitkan masyarakat yang ingin ikut dalam jaminan sosial.

Ditambah lagi tidak meratanya pelayanan kesehatan sehingga sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, pasien sering kali harus bolak balik atau dirujuk dari RS ke RS yang lain.

“Bukannya menguatkan JKN, BPJS Kesehatan justru sibuk menaikkan gaji direksinya dan melemahkan program dengan membebani peserta berupa iuran yang mencekik.” Tegas Ade.

Jamkeswatch berpandangan bahwa defisit anggaran pembiayaan bukanlah hal yang paling utama dalam permasalahan BPJS. Sebab defisit adalah tanggung jawab pemerintah dan penyelenggara, maka pemerintah seharusnya cukup dengan menutup defisit menggunakan dana anggaran pemerintah sebagaimana amanah undang-undang, bukannya malah membebankan pada peserta atau masyarakat.

Apabila dirasa penyelenggara tidak mampu mengelola maka direksi penyelenggara yang harus dimintai pertanggungjawabannya, sebab dana amanah tersebut layak untuk diperhitungkan dan diawasi penggunaannya.

Masih banyak hal yang seharusnya dilakukan oleh penyelenggara dan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang komprehensif kepada masyarakat sebagaimana tujuan negara dibentuk.

Diantaranya adalah mengsingkronisasikan program kesehatan dengan sistem kesehatan nasional, membenahi regulasi kesehatan, melakukan monitoring terhadap cash flow dana serta menegakkan pengawasan agar kepatuhan terpenuhi.

Perlu diketahui, berdasarkan hasil audit BPKP terhadap faskes di 34 provinsi menemukan silpa di puskesmas tahun 2018 menumpuk sebesar Rp 2,5 triliun. Selain itu, lemahnya sanksi kepada badan usaha yang tidak mendaftarkan para pekerjanya, terutama celah badan usaha yang tidak mampu membayar UMK atau melaporkan upah hanya berdasarkan UMK saja.

Di lain sisi belum terkoneksinya JKN dalam sistem kesehatan nasional juga menjadi ajang tarik ulur kepentingan, sehingga pelaksanaan JKN seolah-olah semua masalah hanya dibebankan kepada BPJS Kesehatan saja.

Agar masalah defisit tidak membebani masyarakat dan fasilitas kesehatan, masih banyak upaya lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Dengan menaikkan iuran sebagai alasan kesinambungan program, tentu banyak yang mempertanyakan tujuan JKN.

Seandainya saja kenaikan iuran benar-benar dilakukan, menurut hitungan pemerintah maka dalam setahun terkumpul dana 22 Triliun, defisit 28 T sudah dapat tertangani dalam satu tahun berjalan.

Persoalannya selanjutnya adalah terjadinya penumpukan dana di BPJS kesehatan dan itu rawan penyalahgunaan. Apakah pemerintah atau BPJS Kesehatan sengaja mengeruk keuntungan dalam program JKN dengan membebani masyarakat? Apakah JKN harus mendapatkan untung?

Patut digarisbawahi dengan tebal, JKN adalah jaminan sosial bukan asuransi komersial.

Permasalahan defisit, bukan satu-satunya kendala yang dihadapi JKN. Jangan sampai naiknya iuran JKN adalah gejala dijadikan komersialisasi bidang kesehatan sehingga semakin membebani masyarakat dan mengacaukan tujuan jaminan sosial.

JKN adalah bentuk kewajiban negara melalui pemerintah yang berkuasa untuk menjamin kesehatan warga negaranya. Bukan warga negara yang menjamin pemerintah yang berkuasa tetap eksis dalam negara. Gotong royong semua tertolong.(Ipang Sugiasmoro)

Pos terkait