Menyaksikan Cinta

Kedua orang tua saya pengajar pertama tentang cinta. Khususnya ibu. Kaum muslim hidup dalam kredo, “Al – Ummu Madrasah Al – ula”. Ibu ialah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Tapi, tentu saja saya tak belajar cinta dengan cara yang tunggal. Kehidupan memberi saya kesempatan melihat cinta dalam pusparagam bentuknya.

Saya hendak berbagi cerita kepada mu. Perihal kisah yang tak pernah terlupakan.

Kala itu usia saya menginjak awal 30 tahun, jika tidak salah 32 atau mungkin 33 tahun. Jamaknya pria seusia itu akan mulai bersiaga bagi hari depan pribadinya. Mereka kebanyakan telah menikah, punya anak, atau setidaknya bersiap menuju ke sana. Sementara saya sejenis pria sialan yang lain. Yang kerap sukar diikuti alur berfikirnya. Alih-alih bertafakur soal kemapanan, pada usia tersebut saya memutuskan pergi dan lantas menetap di hutan.

Bertepian dengan pantai, pada hutan ujung selatan yang rimbun, pohon-pohon jati tua yang menjulang angkuh, saya berkenalan dengan manusia berbahan baku baja tapi bernafas seperti selayaknya manusia. Dia biasa dipanggil Pak Wek. Lelaki buta huruf, bertubuh mungil, irit bicara. Bersama kawan-kawannya dia adalah angkatan pertama penegal. Penegal merupakan sebutan petani hutan dalam kultur masyarakat desa setempat.

Pak Wek pergi ke hutan karena alasan yang mudah ditebak. Dia petani miskin. Amat miskin. Tak punya tanah, kecuali rumahnya yang beralaskan tanah. Lebih-lebih desa asalnya dikepung konflik agraria. Menghadapkan penduduk desa dengan kekuatan militer bersenjata. Itu konflik yang gawat. Perkakas militer tak sekali dua kali dikerahkan untuk membekuk keberanian berlawan kaum tani. Yang nyaring bicara ditangkap. Yang mencoba berhimpun dibuat jera. Apalagi yang berseru ‘tanah untuk rakyat’, hidup mereka tak akan pernah mudah. Seorang aktivis desa pernah ditahan di markas tentara selama 2×24 jam. Dia pulang dengan wajah memucat dan seusainya dia hidup sebagai pria yang pendiam, penurut dan menjauhi pergaulan.

Pak Wek dan angkatannya yang mula-mula membuka lahan pertanian di hutan. Itu berarti dia dan kawan-kawannya akan tidur ditemani harimau, atau terjaga dengan kobra yang bersila persis di depan jidatnya. Hutan masih sepi, namun daripada lapar dan terkatung-katung oleh nasib yang tak menentu, jalan sunyi harus ditempuh demi periuk nasi.

Pak Wek memiliki putera bernama Mukayat. Selama di hutan dia lah karib saya. Yang mengajari saya banyak hal. Mengendarai motor di tanah lumpur yang dalam, berjalan di tepi tanah curam nan licin saat musim hujan, siap bersikap bila tempat tidur mu disambangi reptil berbahaya. Mukayat guru alam saya. Mengajarkan saya banyak hal. Sesuatu yang menurutnya sepele, tapi kelewat perlu buat saya.

Di hutan ini kami tidak hidup berselimut kedamaian. Kami berseteru keras dengan penguasa hutan. Sebuah perusahaan negara yang memiliki otoritas atas monopoli tanah. Tidak jarang perseteruan itu mengambil bentuknya yang paling banal: kekerasan. Gubuk ditembaki, petani dianiaya, yang didakwa diborgol, tanaman yang nyaris panen dirusak dan lain-lain cerita yang mungkin tak semua orang pernah dengar. Kami hidup di kenyataan yang demikian, tanpa liputan, tanpa kemungkinan jadi berita besar.

Hidup di hutan merupakan pengalaman saya yang kesekian kali berada di pusaran konflik. Di ujung pulau Jawa saya pernah ‘dikalungi celurit’ oleh preman perkebunan. Anehnya, saat itu nyali saya tak kisut.

“Bateken ae Mas. Belehen. Ojok kesuwen.”
(Tariklah Mas. Goroklah. Jangan kelamaan).

Kau tak pernah bisa menangani anak muda yang bercita-cita. Tak ada tabib yang bisa menyembuhkan tekadnya. Tak ada bijak bestari yang sanggup menasehatinya.

Pada suatu waktu, pada suatu tempat, pada suatu peristiwa yang dituliskan oleh nasib, di tempat lain, pada pukul dua subuh. Gaduh rentetan senapan serbu begitu beringas merobek keheningan. Ratusan petani digebuk lalu diangkut paksa ke truk dengan tubuh memar membiru. Ibu-ibu berteriakkan, bocah-bocah menangis ketakutan, tapi yang pegang bedil makin kesetanan. Malam itu lahan dibersihkan dari mereka yang dianggap tak sah menguasainya. Saya dipukul dua kali. Kepala dan perut. Saya tersenyum, untuk kemudian mendapatkan tendangan di punggung dari sepatu lars berujung logam. Seketika saya berhenti tersenyum.

Kembali ke Mukayat, suatu malam dirinya, saya dan hampir lima ratus petani bersiap menghadapi bentrokan lain. Sejak dua hari kami mendengar kabar seratusan preman suruhan perusahaan siap dikerahkan menghajar kami. Kami paham ini tak terhindarkan. Ada kalanya kita berbicara, ada kalanya hidup memaksa kita berkelahi. Pukul sepuluh, dalam malam yang pekat, kami pun mengasah parang, celurit, atau pedang. Kami akan bertempur. Hidup atau mati. Tanah kami atau tidak sama sekali.

Malam itu saya berbicara kepada sekumpulan petani. Berpidato singkat. Bahwa jalan yang kita tempuh adalah kemuliaan belaka. Apakah tak sejumput gentar pun menyelip di palung hati saya? Tentu saja sebaliknya. Saya takut. Saya manusia biasa. Yang kebetulan keras kepala tentang apa yang diyakininya sebagai kebenaran.

Saat melafalkan kalimat pembuka pidato, tubuh saya bergetar hebat. Saya masih ingat persis, saya menutup pidato itu dengan war cry lama dari rakyat Jawa “Jileng Jibeh! Mati Siji Mati Kabeh!” (Mati satu mati semua!). Sementara kabar dari tilik sandi kami, hampir seratus lawan telah bersiaga. Diantara mereka merupakan bromocorah residivis, orang yang biasa menyabetkan benda tajam ke badan orang, sementara saya menyembelih ayam saja terasa nyeri.

Malam itu semakin tak biasa sejak Mukayat tampak gelisah tanpa kesudahan. Mungkin dia sedang memikirkan putera semata wayangnya, Rizki. Mungkin dia mencemaskan isterinya, Mbak Win yang menunggu di desa. Mungkin dia tak siap dengan pertempuran ini. Sebenarnya tak ada yang pernah benar-benar siap dengan pertempuran, sebab kami petani, bukan serdadu yang dilatih sejak dini untuk baku bunuh. Meskipun saat itu saya ingin sekali membentuk barisan serdadu petani.

Ponsel Mukayat dengan signal sekarat makin berbunyi. Terus-menerus. Keningnya mulai berkeringat. Saya lalu mendekatinya.

“Apik-apik ae, Mas?”
(Baik-baik saja, Mas?)

Dia terdiam. Tatapan matanya terlihat nanar. Sedikit berkaca-kaca.

“Wes Mas, sampean balik nang deso gak popo. Tenang ae.”
(Sudah Mas, kamu pulang ke desa saja gak papa. Tenang saja).

Dia menarik nafas dalam-dalam. Lalu berujar,

“Bojo ku Mas….”
(Isteriku Mas)

“Iyo Mas. Aku paham. Balik ae”
(Iya Mas. Aku paham. Pulang saja)

Lalu cerita yang akan saya dengar selanjutnya melampaui alam khayali saya. Apa yang dinamakan cinta malam itu diperagakan dengan cara yang belum pernah saya kenal.

“Bojo ku mekso njaluk dijemput. De’e omong. Jarene ayo berjuang bareng. Ayo bacokan bareng. Iki demi masa depan e Riski. Lek koen wani mati, aku yo wani. Bareng-bareng yo, Mas. Tresno ku.”

(Isteriku memaksa minta dijemput. Dia berujar. Katanya, ayo berjuang bersama. Ayo baku bacok bersama. Ini untuk masa depan Rizki. Kalau kamu berani mati, aku juga berani. Bersama ya, Mas. Cintaku.)

Lutut saya tiba-tiba melemah. Saya tercekat. Tak punya kalimat. Kecuali kemudian memeluk Mukayat erat-erat. Kami sesenggukan bersama. Dua laki-laki jatuh dalam tangis di palagan konflik yang tak lama lagi akan memburuk.

Tuhan menurunkan cinta dan kisah cinta dalam banyak versi. Pada sebuah malam, dalam nyawa yang terancam, saya menyaksikan salah satu versinya yang paling sukar dan tak terbayangkan.

(Ditulis oleh seorang kawan yang tak mau disebut namanya)