Mengapa Kita Harus Belajar Pada Aksi 212?

Jakarta, KPonline – Reuni 212 sudah usai. Meskipun banyak tokoh yang memberikan himbauan agar masyarakat tidak mendatangi reuni ini, tetapi masyarakat tetap aktusias untuk terlibat. Bahkan mereka semakin bersemangat untuk datang meskipun digembosi, misalnya dengan menyebut bahwa aksi ini bermuatan politis.

Mereka tak peduli dengan semua kata nyinyir. Buktinya, kegiatan yang diselenggaralan pada Sabtu pagi (2/12/2017) itu masih saja diikuti jutaan orang. Tak kalah dengan aksi serupa setahun yang lalu.

Bacaan Lainnya

Apa artinya? Artinya, masyarakat sebenarnya tidak menolak cara-cara turun ke jalan untuk menyampaikan pendapat. Ya, saya lebih suka menyebut aksi 212 sebagai bagian dari kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Sama dengan aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh elemen gerakan sosial, seperti serikat pekerja.

Kita boleh berbeda pendapat tentang isu yang di bawa. Tetapi terkait dengan metode yang digunakan, yaitu menggelar rapat akbar, jelas merupakan pilihan yang nyaris sama dengan apa yang dilakukakn serikat pekerja. Bedanya, aksi 212 bisa menghadirkan jutaan orang. Aksi serikat pekerja? Saya malu untuk menyebutnya.

Karena itulah, saya rasa, ada baiknya para pimpinan serikat pekerja belajar lagi tentang bagaimana melakukan rapat akbar dengan menghadirkan jumlah massa yang berjuta-juta tanpa paksaan.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, saya kira. Pertama, adalah tentang keyakinan. Jika keyakinan sudah merasuk dalam diri seseorang, maka ia akan menyingkirkan semua penghalang. Jangankan ancaman, bahkan ia rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk berada di jalan perjuangan.

Orang-orang seperti ini hanya memiliki satu pilihan. Hidup mulia atau mati syahid. Tentu saja, keyakinan tertinggi adalah keyakinan terhadap Allah SWT. Keyakinan bahwa apa yang mereka perjuangkan tidak saja membawa manfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Mereka yang cinta dunia dan takut mati tidak akan mampu berada pada level keyakinan seperti ini.

Maka apapun agama kita, jangan tanggalkan ia dalam setiap aktivitas kita. Dalam setiap jejak langkah perjuangan kita. Jika itu kita lakukan, maka kita akan mudah putus asa.

Kedua, faktor kepemimpinan. Bisa kita lihat, bagaimana para pemimpin ini ditaati. Ketika pemimpin menegaskan bahwa reuni 212 akan digelar, dengan segera massa bersiap-siap. Ketika pemimpin mengatakan jangan menginjak taman, areal monas tetap terjaga keindahannya hingga aksi usai.

Apa yang membuat mereka patuh? Karena mereka percaya pemimpinnya mengajak pada kebaikan. Kalau saja yang menyerukan ini bukan orang yang memiliki pengaruh dan rekam jejak yang baik, saya ragu orang-orang akan mendengarkannya.

Tetapi itu tidak dominan. Yang dominan adalah, bahwa setiap pribadi adalah menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Itulah sebabnya, aksi ini tetap tertib. Karena masing-masing saling menjaga dengan sepenuh cinta.

Ketiga, tidak perlu sebuah organisasi terbesar untuk melakukan aksi besar. Bahkan Ormas Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah sekalipun tidak secara langsung menyerukan agar anggotanya mengikuti aksi ini. Gerbong utama yang terlihat menonjol justru FPI. Organisasi yang dipimpin Habib Rizieq ini bukanlah organisasi yang terbesar. Tetapi buktinya mereka bisa menarik gerbong-gerbong yang lain. Habib Rizieq bahkan dinobatkan sebagai Pemimpin Umat Islam Indonesia.

Fakta ini menunjukkan kepada kita, jangan risau dengan jumlah kita yang masih sedikit jika dibandingkan dengan organisasi lain. Sebab jika apa yang kita perjuangkan adalah kepentingan masyarakat, maka masyarakat pun akan secara sukarela memberikan dukungan.

Permasalahannya sekarang adalah, bagaimana kita bisa menjadikan agenda perjuangan kita memiliki kaitan dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh masyarakat. Sehingga serikat buruh tidak berjarak dengan elemen yang lain.

Pos terkait