Mempertimbangkan Wacana Ambil Alih Tata Kelola BPJS Ketenagakerjaan

Jakarta, KPonline – Kebijakan ekonomi Jokowi dinilai sangat pro pada investasi dan mengabaikan kepentingan buruh, petani, nelayan dan para pemilik lahan lahan di pelosok desa.

Jokowi memberi karpet merah pada investor investor yang mulai di banjiri oleh investor dari China. Sedangkan investor terbesar hingga saat ini masih diduduki oleh Singapura, negara kecil tetangga kita. Negara kecil tersebut juga masih menempati urutan teratas negara yang meminjamkan uangnya kepada bangsa ini.

Bacaan Lainnya

Satu sisi, Jokowi juga membuat catataan dengan tinta merah yang membuat nasib rakyatnya makin tidak diperhatikan dan dilindungi. Melalui kebijakan PP 78/2015, Jokowi membuat kebijakan upah murah. Melalui PP 45/2015, Jokowi membuat kebijakan program pensiun murah. Melalui kebijakan Permenaker 16/2016, Jokowi membuat kebijakan tentang perbudakan berkedok pemagangan.

Sehingga nggak heran jika sepanjang Jokowi jadi presiden, gelombang aksi buruh terus terjadi. Belum lagi kebijakan jokowi mencabut subsidi harga BBM dan TDL.

Aksi yang tiada henti juga dilakukan oleh kelompok petani yang lahan-lahanya dirampas oleh perusahaan besar. Aksi juga dilakukan oleh para guru honorer, bidan, dan Selasa tanggal 9 Juli 2017, sejumlah nelayan dari Jawa Tengah dan Jawa Barat akan melakukan aksi ke istana negara.

Berbagai kelompok pergerakkan mulai merasa hopeless merasa tidak ada harapan lagi sepanjang Jokowi memimpin negara ini hingga 2019. Jokowi dengan berbagai paket kebijakan ekonominya, hanya berorientasi pada membangun iklim investasi (namun satu sisi menggebuk upah buruh), berorientaai pada maunya pemberi hutang yang memintanya mencabut berbagai subsidi rakyat dan memotong anggaran-anggaran APBN di sejumlah kementerian karena defisit anggaran yang terus terjadi.

Ketergantungan pada investor dan pemberi hutang membuat Jokowi tidak berdaya. Berbagai kebijakannya kemudian diputuskan berdasar apa maunya mereka. Karena pendapatan APBN yang bersumber dari pajak tidak sesuai dengan target. Satu sisi, ditengah defisitnya anggaran Jokowi terus membangun berbagai infrastruktur (nggak nyambung dengan gagasan revolusi mental) dengan “menggadai BUMN”.

Dari uraian diatas, kita dapat mengambil benang merahnya, betapa kekuatan “pemilik uang”, baik para investor maupun bank dunia atau negara negara donor pada akhirnya sangat mendominasi dalam kebijakan ekonomi negara negara berkembang yang tidak membangun basis keuangan rakyat.

Siapa yang bisa mengepul atau mengumpulkan uang atau memiliki atau menguasai uang, dialah yang akan menang dan berjaya (logika kapital saat ini).

Singapura, Cina, Jepang, adalah contoh negara negara pemberi hutang dan juga investor terbesar di Indonesia. Pertanyaannya, darimanakah uang uang yang mereka miliki itu berasal?

Tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan dana pensiun buruh yang dimiliki Jepang lebih dari 15.000 triliun.  Singapura juga sekitar 3000 triliun. Cina yang baru memulai program pensiun pada era 1990-an memiliki dana pensiun yang besar karena ditopang oleh iuran pensiun yang besar dan jumlah pekerja formal ratusan juta orang.

Sekitar beberapa bulan lalu kepala Bapenas menyampaikan dengan aset yang besar, dana pensiun Cina mencapai 38 ribu triliun, juga dana pensiun di Australia dan Kanada telah membiayai pembiayaan pembangunan infrastruktur bandara, kereta cepat, dan sebagainya. Jadi negara berhutang pada buruhnya.

Di Indonesia, akibat kita lambat dan setengah hati mereformasi jaminan sosial terutama jaminan pensiun, membuat aset BPJS Ketenagakerjaan (dulu Jamsostek) masih sangat kecil. Sampai akhir 2016, BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana investasi Rp261,22 Triliun yang terdiri dari aset BPJS Ketenagakerjaan Rp9,79 Triliun dan aset Dana Jaminan Sosial (DJS) ketenagakerjaan Rp251,43 Triliun. Pendapatan investasi yang dihasilkan dari dana kelolaan tersebut Rp 21,76 Triliun.

Kinerja keuangan BPJS Ketenagakerjaan menghasilkan pencapaian total asset yaitu sebesar Rp268,59 Triliun yang terdiri dari aset Badan sebesar Rp13,37 Triliun dan aset DJS sebesar Rp255,22 Triliun. Aset tersebut tumbuh 25,21% dari tahun 2015. Kemudian, 2 tahun perjalanan BPJS Ketenagakerjaan tampaknya belum memberikan harapan besar buruh dan kontribusi bagi buruh dan negara.

Karenanya Reformasi Jilid II Jaminan Sosial menjadi penting, diantaranya dengan menaikkan iuran pensiun dari pengusaha sebagai bentuk share profit kepada buruh. Saat ini iuran pensiun pengusaha hanya 2%, jauh dibawah Singapura dan Malaysia sebesar 11-13%. Dengan demikian, manfaat jaminan pensiun bisa dinaikkan.

Tata kelola dan penguasaan dana buruh oleh buruh menjadi penting dalam memperkuat positioning buruh pada pemerintah. Dengan potensi aset ribuan triliun menjadikan buruh mempunyai kemampuan investasi dan memberikan pinjaman bagi negara. Sehingga buruh bisa bargaining terkait kebijakan ketenagakerjaan dan kebijakan kesejahteraan lainnya.

Saat ini dengan badan hukum publik (sebelumnya BUMN), buruh sebagai stake holder utama hanya diberi ruang menempati 2 posisi sebagai Dewan Pengawas (selevel Komisaris di BUMN). Karena itu, tidak ada salahnya memberikan kesempatan tata kelola BPJS Ketenagakerjaan kepada buruh.

Pancoran, 9 Juli 2017

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *