Membedah Kelas Standar BPJS Kesehatan, Layakkah Diterapkan?

Surabaya, KPonline – (04/01/2022) Apa yang pertama kali terbersit dalam pikiran, saat kita mendengar kata “Kelas Standar”? Sebenarnya apa yang paling dibutuhkan oleh pasien JKN, standarisasi kelas ataukah standarisasi layanan? Bagaimanakah regulasinya? Benarkah standarisasi kelas menjadi solusi atas keberlanjutan BPJS Kesehatan?

Beberapa pertanyaan diatas muncul dan menjadi bahan diskusi publik. Seiring konsep “Kelas Rawat Inap Standar” (KRIS) yang tengah digodok oleh pemerintah dan direncanakan berlaku mulai tahun 2022 ini. Konsep ini meresahkan masyarakat, selain peniadaan pengkelasan, iuran juga akan berubah.

Bacaan Lainnya

Untuk menjawab dan mendapatkan gambaran yang jelas dan utuh, perlulah kiranya menggali lebih dalam tentang apa, kenapa dan bagaimana kelas standar yang dimaksud, agar peserta JKN maupun masyarakat dapat memahami lebih jernih dan berimbang.

Pengertian Kelas dan standar

Sederhananya, penyebutan kelas dalam program JKN dipahami sebagai “Ruangan/kamar perawatan bagi pasien yang menginap (opname) di fasilitas kesehatan”. Kamar/ruangan perawatan tersebut merupakan akomodasi/fasilitas tambahan bagi pasien diluar kebutuhan medis untuk mengobati penyakitnya. Jadi yang dimaksud kelas standar tidak lain adalah KAMAR STANDAR

Ada perbedaan mendasar antara Kelas Standar dan Standar Kelas. Dalam Kelas standar, masih ada kelas-kelas lain yang tidak terstandarisasi (ada opsi kelas lain). Sedangkan Standar kelas, berarti tidak ada kelas selain kelas tersebut, semuanya disamakan (tidak ada opsi kelas lain). Kelas terstandarisasi ataukah standarisasi kelas? Kamar Standar atau Standar kamar?. Sangat beda konteks dan subjek bukan? yang mana?

Standar Pelayanan ataukah Standar Kamar?

Ambilah apa yang dimaksud Pemerintah tentang kelas standar adalah soal standar kamar. Standar Kamar biasanya mengatur ketentuan tentang jumlah tempat tidur, luas ruangan, pendingin ruangan, toilet dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan upaya medis (manfaat tambahan). Pada program JKN, manfaat tambahan berupa fasilitas kamar di bedakan menjadi kelas 1, kelas 2 serta kelas 3 yang sama dengan kelas PBI.

Sedangkan Standar Pelayanan adalah ketentuan baku mengenai pelayanan medis bagi pasien sesuai Kebutuhan Dasar Kesehatannya (KDK). Pelayanan medis adalah manfaat utama program JKN, didalamnya termasuk upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif, sehingga pasien sembuh dari penyakit/gangguan kesehatan yang dideritanya.

Pada sistem JKN, manfaat utama berupa pelayanan kesehatan sangat luas dan kompleks cakupannya, meliputi penentuan triase, jenis penyakit, diagnosis dan tindakan medis, sistem rujukan berjenjang, sistem INA-CBG’s, Formulasi Nasional, prothesa/alat kesehatan, rehabilitasi medik, sistem klaim, kampanye kesehatan dan sebagainya.

Jika pasien disuruh memilih, mayoritas akan lebih memilih standarisasi pelayanan daripada standarisasi kamar. Alasannya adalah standarisasi pelayanan menjadikan hak kesehatan pasien terpenuhi dan tidak dibeda-bedakan. Semua pasien mendapatkan perlakuan dan penanganan yang sama, tidak dipengaruhi oleh besaran iuran atau jenis kepesertaan (Sesuai prinsip Gotong Royong dan Ekuitas).

Standarisasi pelayanan juga menjadikan pelayanan kesehatan yang komprehensif, efektif dan paripurna. Tidak ada lagi penolakan pasien, kamar penuh, obat atau alat kosong, dokter tidak ada, rujukan ribet dan masalah klasik lainnya.

Tentang standar kamar, Pasien tidak mengharuskan kamar rawat inap yang mewah, luas, ber-AC dan lainnya. Peraturan Kemenkes telah cukup mengakomodir. Sebagian orang memang membutuhkan ruangan privasi dan eksklusif, tetapi itu tidak semuanya. Faktanya, kenyamanan tertinggi pasien adalah mendapatkan perawatan yang maksimal sehingga segera sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Dasar Peraturan dan Dasar Pemikiran

Pemerintah melalui Dewan Jaminan Sosial Nasional menyatakan bahwa konsep rawat inap kelas standar merupakan amanah Undang-undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Adapun dalilnya adalah pada pasal 19 ayat (1) dan (2) serta pasal 23 ayat (4). Mari kita bedah..

Inti Pasal 19 ayat (1) dan (2) adalah JKN berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Serta JKN menjamin peserta memperoleh pemeliharaan dan perlindungan kesehatan sesuai Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK). Ekuitas yang dimaksud adalah Kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.

Pasal ini sudah sangat jelas, yang dimaksud sama itu memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis atau KDK, bukan kamarnya bukan pula iurannya. Dalam prinsip gotong royong, tidak berarti harus sama semuanya. Soal KDK juga sudah terjawab, jangan sampai manfaat non medis lebih diutamakan daripada manfaat medis.

Adapun Pasal 23 ayat (4) berbunyi, “Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar”. Perlu di garis bawahi, Kelas standar yang dimaksud adalah hak kelas sesuai segmen peserta, dan kelas yang dimaksud bukan kelas kamar tetapi kelas pelayanan.

Pasal 23 ini seharusnya tidak dipahami hanya pada ayat (4) saja, namun dimaknai secara keseluruhan. Apabila dirunut dari ayat (1) sampai (5), maka dapatlah dipahami bahwa kelas standar yang disebutkan diperuntukkan bagi pasien kondisi darurat yang membutuhkan pelayanan kesehatan, sedangkan daerah tersebut belum/tidak ada faskes yang bekerjasama dengan BPJS.

Pada pasal 23 tidak ditemukan mandat untuk melakukan standarisasi kelas seperti yang direncanakan pemerintah saat ini. Bahkan dalam ayat (3), peserta dengan kondisi darurat dan tidak ada faskes BPJS seharusnya berhak mendapatkan kompensasi berupa uang. Ketentuan lebih lanjut tentang kondisi khusus ini baru diatur dalam Peraturan Presiden.

Kesimpulan

Fasilitas tambahan berupa kamar perawatan bukan faktor utama kesembuhan pasien, maka Penyelenggara selayaknya mengutamakan standarisasi pelayanan kesehatan daripada standarisasi kamar. Melayani pasien agar segera sembuh dari sakitnya, lebih utama daripada mengatur kamar untuk perawatan.

Menerapkan kelas standar ditengah belum optimalnya mutu pelayanan dan pemerataan kesehatan, dirasa belum tepat dan salah tempat. Tidak ada jaminan, mutu pelayanan dan defisit pembiayaan akan teratasi dengan standarisasi kelas. Pemerataan dan ketersediaan fasilitas kesehatan masih akan menjadi masalah yang tidak terselesaikan.

Dalih DJSN bahwa UU SJSN mengamanahkan standarisasi kelas juga tidak tepat, sebab tidak diketemukan ketentuannya baik pada pasal 19 maupun pasal 23. UU SJSN malah mendorong terwujudnya azas dan prinsip Jaminan Sosial secara inklusif. Perbaikan di dalam lingkungan sebelum memberikan layanan prima ke peserta.

Dengan tidak adanya mandat dalam UU SJSN, seharusnya tidak ada urgensi untuk diterapkan. Toh untuk mengatur standarisasi kelas, minimal Peraturan Pemerintah tidak cukup hanya Peraturan Presiden saja. Amanah untuk membuat Perpres sesuai pasal 23 ayat (5) bahkan belum dilakukan.

Jika penerapan kelas standar bertujuan untuk keberlangsungan JKN maka apa tidak ada cara lain selain harus mengorbankan hak bahkan nyawa pasien? Konsep standar kelas bertentangan dengan azas dan prinsip Jaminan Sosial. Penyatuan kelas justru akan merusak prinsip gotong royong, formasi ekuitas maupun KDK yang sudah tersistem dan terstruktur dengan baik.

Pos terkait