Melampaui Dinding Pabrik

Oleh: Kahar S. Cahyono*

Apa urusannya buruh Indonesia dengan rakyat Palestina, sehingga merasa perlu melakukan aksi solidaritas? Sedang permasalahan di negeri sendiri bertumpuk.

Apa urusannya buruh Indonesia dengan persoalan korupsi, sehingga merasa perlu bersuara tentang isu ini? Sedang perjuangan menalak omnibus law saja tak kunjung selesai.

Apa urusannya buruh di satu perusahaan musti ikut memikirkan permasalahan buruh di perusahaan yang lain? Sedang kita tahu, belum tentu yang kita bela akan gantian membela saat kita menghadapi persoalan.

Apa urusannya kaum buruh dengan persoalan petani, nelayan, masyarakat adat, dan yang lain?

Apa urusannya….

Ada banyak pertanyaan semacam ini. Sebagian memang murni karena ingin bertanya. Mencari tahu. Tetapi tak jarang, pertanyaan itu ditujukan untuk melemahkan semangat juang.

Intinya mereka hendak mengatakan, urus saja diri sendiri. Fokus saja pada permasalahan di pabrik sendiri. Ngapain ikut ngurusi yang lain?

Dalam sebuah forum diskusi, saya pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa serikat buruh yang independen adalah serikat buruh tingkat perusahaan. Serikat yang tidak berfederasi atau berkonfederasi. Tidak memiliki keterikatan dengan pihak-pihak yang berada di luar perusahaan (meski itu sesama buruh).

“Jika ada pihak yang diluar perusahaan ikut-ikutan, berarti tak ada lagi independensi,” demikian dia membangun argumentasinya. Intinya, mari kita urus diri sendiri. Menganggap bahwa mereka yang tidak satu pabrik adalah orang lain.

Sepintas hal itu terkesan benar. Padahal sesungguhnya ia menjadi racun bagi gerakan. Menghalangi terjadinya persatuan.

Bukankah berserikat itu mengikat? Tidak ada sekat dan yang jauh menjadi dekat? Kalau kita abai pada persoalan yang lain, serikat akan kehilangan esensinya.

Independen atau tidak independen dinilai dari, apakah ada pihak eksternal yang mengendalikan serikat. Sesama buruh mustinya dimaknai satu tubuh.

Bukankah sejarah gerakan buruh sudah dengan indah mengajarkan tentang solidaritas tanpa batas?

Perjuangan 8 jam sehari di tahun 1.800-an yang hingga kini kita peringati sebagai May Day, misalnya. mengajarkan kepada kita betapa perjuangan kaum buruh melampaui batas negara.

Begitu pun menjelang lebaran kemarin, saat kita menerima THR. Itu adalah buah dari kemenangan atas perjuangan kaum buruh di era orde lama.

Bayangkan kalau saat itu mereka hanya berjuang untuk dirinya sendiri, di pabriknya sendiri, niscaya saat ini kita hanya bisa gigit jari. Jangan menorehkan capaian baru. Mempertahankan agar yang ada masih tetap ada pun tak memiliki kemampuan.

Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri. Bahkan menurut satu teori, kepak sayap kupu-kupu di hutan Amazon, bisa saja menjadi badai di belahan dunia yang lain.

Karenanya, jangan heran ketika buruh bersuara mengenai korupsi. Karena sejatinya, persoalan korupsi adalah penghambat nomor satu bagi investasi. Yang menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi, sehingga kesejahteraan mustahil digapai.

Pun jangan kaget ketika buruh bersuara menolak privatisasi. Karena privatisasi berakibat hilangnya kendali negara atas kepentingan publik, yang pada gilirannya nanti membuat rakyat tercekik.

Jangan panik ketika buruh bersuara tentang kemerdekaan bangsa lain. Sebab tanpa kemerdekaan, tak mungkin nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan bisa ditegakkan.

*Kahar S Cahyono  – Vice President DPP FSPMI/Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI