Makna Mogok Untuk Melawan Ahok

Jpeg

Jakarta, KPonline – Berita di tempo dot com berjudul “Jika Ahok Jadi Gubernur Lagi, Jutaan Buruh Mau Mogok” menuai banyak komentar. Pro dan kontra. Ini biasa, sebenarnya. Jika kamu bicara tentang Ahok dan lingkaran kekuasaannya, siap-siap saja kamu diperlakukan begitu. Akan ada sekelompok orang yang siap sedia membelanya hingga darah yang penghabisan.

Saya sendiri, setelah membaca berita itu, justru merasa terhormat menjadi bagian dari KSPI, dan tentu saja FSPMI.

Bacaan Lainnya

Hampir semua pemimpin di serikat ini, melihat setiap persoalan dari sudut pandang buruh. Pun begitu juga dalam mengorganisir perlawanan. Selalu, cara-cara gerakan buruh yang dipakai. Lihat kata-kata yang digunakan: aksi, demo, mogok, kepung.

Itu yang nampak di permukaan. Dalam prakteknya, mereka juga membuat konsep dan melakukan loby.

Kalian pasti tahu, banyak pihak yang akan panas kuping ketika mendengarnya. Apalagi jika itu menyangkut junjungannya. Menyinggung kepentingannya. Sejak negeri ini masih diketiak kolonial, seruan si Raja Mogok Suryopranoto pun banyak yang tak menyukai. Beragam cara digunakan untuk melemahkan. Semisal kriminalisasi yang terjadi pada om Muhamad Rusdi, saat ini.

Zaman orde baru? Jangan ditanya. Buruh dipaksa masuk ke barak, eh pabrik. Jangan ngomong politik dan mengkritik rezim. Persis saat ini lah, ketika kaum menengah ngehek ngomporin urusan buruh cuma sekedar bisa kerja.

Nyaris tak pernah bermanis muka dengan penguasa yang zalim. Hampir selalu menabuh genderang perang. Bagi saya, ini semacam kesadaran, bahwa yang utama melawan angkara adalah dengan kekuatan. Sebab sekedar mengirimkan do’a adalah selemah-lemahnya iman.

Begitulah. Meski ada saja yang meragukan, mogok akan tetap diakui sebagai senjata. Ia menjadi alat pertahanan yang utama. Tanpa kemampuan melakukan pemogokan, serikat akan kehilangan ruh perlawanan. Keyakinan bahwa pemogokan adalah senjata, disitu menegaskan kepada siapa dia berpihak.

Pemogokan — sebagai senjata — tentu berbeda cara penggunaannya dengan pedang samurai. Jika pedang samurai digunakan secara prbadi, pemogokan selalu bersifat kolektif. Dia tidak mungkin dilakukan sendirian. Karena itulah, pemimpin harus terus menerus menyakinkan massa bahwa pemogokan adalah senjata. Menyampaikannya berulang-ulang tidak bisa ditafsirkan sebagai gertak sambal, karena pada saat yang sama ia juga dimaksudkan untuk meneguhkan keyakinan. Seperti halnya satu kata yang melegenda dari Wiji Thukul: LAWAN! Ini bukan ancaman. Tetapi semacam cara untuk meneguhkan keyakinan.

Soal Ahok adalah soal kebijakannya. Dalam petisi yang disampaikan pada saat longmarch berjalan kaki dari berbagai penjuru Jakarta, jelang peringatan Kemerdekaan RI, KSPI merilis 10 kegagalan Ahok. Dalam hal ini, sebagai bagian dari elemen masyarakat, buruh merasa perlu untuk menyuarakan aspirasinya.

Kita khawatir, ketika Ahok kembali memimpin Jakarta, kebijakan reklamasi, penggusuran, dan upah murah akan dilanjutkan. Dan jika itu terjadi, buruh telah menyiapkan pemogokan.

Melawan Ahok berarti berdiri di samping nelayan yang kehilangan laut untuk mencari ikan. Melawan Ahok berarti sebuah upah menghentikan ketimpangan si kaya dan si miskin yang menurut BPS Jakarta semakin lebar.

Mau apa lagi? Sebab pemogokan adalah senjata.

Berita di tempo dot com yang dengan bangga di share kemana-mana itu memang mudah untuk dipelintir. Dan begitulah media, suka-suka sudut pandang dia untuk menyajikan berita.

Siapa pun yang terpilih secara demokratis harus dihormati. Tetapi tentang kebijakannya yang merugikan rakyat, musti dikritisi. Dan mogok kerja sebagai cara buruh menyampaikan sikap kritisnya. Sebentuk perlawanan atas kebijakan yang merugikan, yang timbul dari kesadaran seorang Working Class Heroes. (*)

Pos terkait