Logika Omnibus Law Terhadap Lingkungan

Medan,KPonline – DPR sedang membahas omnibus law RUU Cipta Kerja dengan mendengar pandangan ahli. Pendapat ini bukan ahli tapi ini sudut pandang redaksi terhadap RUU ini, terutama yang berkaitan dengan lingkungan.

Kita membutuhkan pemerintah untuk mengintervensi agar pembangunan ekonomi tak merusak lingkungan. punya hipotesis bahwa regulasi lingkungan akan merangsang inovasi teknologi yang bisa mereduksi biaya eksternalitas sekaligus memperbaiki daya saing.

Bacaan Lainnya

Biaya eksternalitas adalah biaya yang tak hanya dibayar oleh produsen dan konsumen, meski tak muncul dalam harga barang, karena ditanggung oleh semesta termasuk binatang dan tumbuhan. Nilai biaya eksternalitas sering kali lebih besar karena berbentuk pencemaran udara, limbah, atau emisi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tak ramah lingkungan menimbulkan pemborosan.

Jika berpatokan pada “hipotesis Porter” itu, Jokowi semestinya membuat regulasi lingkungan untuk merangsang inovasi yang akan menaikkan daya saing industri. Di Indonesia, problem lingkungan, ekonomi, maupun inovasi terbentur aturan yang tumpang-tindih dan kacau balau. Akibatnya, investasi mandek. Karena itulah Jokowi akan fokus membereskannya. Tapi, solusinya bukan dengan omnibus law yang menerabas aspek lingkungan dan hak asasi manusia.

Kita punya Ketetapan MPR Nomor IX/2001 yang menugaskan presiden membuat harmonisasi aturan yang berbasis lingkungan hidup dan penghormatan kepada hak-hak masyarakat adat. Jika keinginan Jokowi hanya sinkronisasi aturan, ia tak perlu repot membuat omnibus law yang tebalnya lebih dari 1.000 halaman. Jalankan saja Tap MPR Nomor IX itu yang semangatnya membangun ekonomi dengan tumpuan ekologi.

Caranya dengan merangsang inovasi. Regulasi mesti memaksa industri membuat teknologi yang ramah lingkungan, salah satunya, dengan memakai instrumen pajak.

Penulis ; Zamroni Hidayat

Pos terkait