Libur Tanpa Bayar Upah, Sama Saja Ciptakan Bencana Baru

Jakarta, KPonline – Sudah ada informasi, beberapa perusahaan meliburkan pekerja untuk mencegah penularan COVID-19. Namun demikian, masih ada permasalahan yang kita hadapi. Diantaranya, banyak perusahaan yang meliburkan, tetapi upah pekerja tidak dibayar penuh.

Ada yang upahnya dibayar hanya 25%, 50%, dan 75%. Ironisnya, ada yang tidak membayarkan upah pekerja sama sekali. Sangat sedikit yang upahnya dibayar 100%.

Bacaan Lainnya

Situasi ini diperparah dengan beberapa Kepala Daerah yang mengeluarkan surat edaran agar perusahaan meliburkan karyawannya, tetapi tidak dicantumkan berapa upah yang harus dibayarkan selama libur. Kita sungguh khawatir, pekerja diliburkan tanpa dibayarkan upahnya. Sebab jika ini terjadi, maka akan terjadi “bencana” baru bagi pekerja. Ibarat lepas dari mulut singa, jatuh ke mulut harimau.

Hal yang hampir sama justru dilakukan Menteri Ketenagakerjaan. Melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 yang diteken 17 Maret 2020; dalam poin II angka 4 SE mengatur apabila perusahaan melakukan pembatasan kegiatan usaha dan menyebabkan buruh/pekerja tidak masuk kerja maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan dengan kesepakatan pengusaha dengan buruh/pekerja.

Sementara kita tahu, posisi kaum buruh di hadapan pengusaha tidak seimbang (equal). Mereka tidak bisa berbuat banyak, misalnya ketika pengusaha membayarkan upah sesukanya.

Padahal, Pasal 91 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah mengatur, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal kesepakatan pengupahan lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Termasuk, bertentangan dengan Pasal 93 ayat (2) huruf f; pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

Jadi bagaimana mungkin Menteri Ketenagakerjaan menyerahkan pembayaran upah pada mekanisme kesepakatan. Seharusnya pemerintah bertindak tegas. Dengan menyatakan bahwa upah pekerja selama diliburkan, dibayar penuh. Tidak membiarkan pekerja dan pengusaha bertarung bebas.

Jika tidak ada ketegasan seperti ini, maka buruh yang akan dirugikan. Saat ini saja, dengan upah yang diterima penuh; mereka belum mampu memenuhi kebutuhan. Masih banyak yang harus berhutang di warung sekedar untuk makan. Bagaimana jika upahnya hanya dibayarkan setengahnya? Sementara kebutuhan selama di rumah tidak berkurang bukan?

Pos terkait